Tuesday 30 December 2014

Lelaki yang Kehilangan

Kepada angin yang bertiup diatas atap :
Adakah kabar baik untuk seorang lelaki yang diam menunggu paginya yang tak pernah kembali ?
Atau, adakah pesan terakhir dari senja yang perlahan tenggelam meninggalkannya diujung cakrawala yang dititipkan kepadamu ?
Seorang lelaki yang duduk diam dengan rindunya kepada pagi dan tanyanya kepada senja yang tenggelam tanpa meninggalkan pesan.
Seorang lelaki yang mencari bayangannya yang ditelan gelap malam, yang berdiri celingukan seperti anjing kehilangan tulang.
Seorang lelaki yang tidak peduli dengan waktu, sebab siangnya juga hilang, dia hanya memiliki gelapnya malam.
Seorang lelaki yang menelan keyakinan, sebab janjinya juga menghilang, mungkin dirobek buta kala dan dihanyutkan pada parit parit yang mengalir sampai lautan.
Kepada angin yang bertiup diatas atap :
Bisakah kau membawa rapalan doa lelaki yang kehilangan itu dalam gulungan angin dan menyampaikannya kepada Sang Pencipta ? Aku kasihan menatap dia yang tertunduk didepan cermin.

Terima Kasih, 1000 Bahagia

Bahagia tercipta dari mana saja.
Kebersamaan, canda, tawa.
Mereka adalah sumber sumber bahagia.
Mungkin bahagia adalah ketika kamu mampu menggenggam tangannya dan membuatnya nyaman bersamamu.
Mungkin bahagia adalah saat kamu berbagi cerita bersama sahabat sahabatmu dan kamu sedang tertawa oleh karena kebodohan dimasa lampau, entah kebodohanmu atau kebodohan sahabat sahabatmu.
Tetapi mungkin, bahagia serupa mimpi yang menjadi nyata, angan yang mampu membuatmu tersenyum dan sekarang kamu memilikinya.
Bahagia tak ubahnya anugerah yang seharusnya disyukuri, berterima kasih kepada Tuhanmu dan orang orang yang mewujudkan mimpimu.
Maka ketahuilah, aku sedang bahagia. Sebab mimpiku sedang menjadi sedikit terang.
Seperti halnya anak kecil yang diberi kado mainan impiannya, mungkin seperti itu aku saat ini.
Terima kasih kepada kalian, sebab dengan kalian aku memiliki sedikit mimpi kecilku. Terima kasih, untuk Tuhan yang memberiku umur panjang hingga saat ini, 23 tahun aku sudah diperhatikan oleh-Nya.
Terima kasih.

Friday 26 December 2014

Rak Rak Buku Dan Kereta yang Berjalan Di Rel Tua

Pada rak rak buku yang berdebu, pernahkah kau menyadari satu hal ?
Yang tersisip disana adalah tulisan dari masa lampau.
Pada kertas kertas yang kecoklatan dan bau yang cukup aneh.
Lembar lembar yang tersisip disana adalah bagian dari kenangan yang bewujud nyata dan kau bisa dengan mudah membacanya.
Buku buku yang berbendel dan terjahit dengan benang.
Buku yang tebal, yang didalamnya masih menggunakan ejaan soewandi.
Apa kau memperhatikannya ?
Sesuatu yang tak kau perhatikan namun aku ingat setiap detilnya.
Begitulah kamu yang sedikitpun tak peduli apa yang ada disekitarmu.
Seolah kau hanya kereta yang melaju pada rel yang sudah tua.
Yang melewati segalanya tanpa memperhatikan apa yang ada disekitarnya.
Terkadang hanya melaju tanpa aba.
Baik memang jika kau terus berjalan maju.
Meninggalkan masa lalu yang sudah habis dimakan waktu begitu detik juga melangkah maju.
Tetapi ketahuilah, aku bagai matahari yang selalu bersamamu.
Menemanimu melangkah maju, terbit dan terbenam sebagai penanda waktumu.
Yang kau campakkan saat bosan dari hangatku.
Yang kau rindui saat dingin mendekap tubuhmu.
Aku yang menyapamu dipagi hari, berharap aku yang pertama mengucap itu dan kau mengingatnya. Tapi kurasa tidak.
Aku yang menulis baris baris indah, memujimu agar kau tahu, betapa aku jatuh diperaduanku. Padamu.
Namun kamu, kamu hanya gema pada muka muka danau.
Yang bergerak kemudian diam.
Diam yang menelanku dalam bimbang.
Bimbang yang membawaku pada satu titik yang melelahkan.
Aku hanya buku yang terselip pada rak tua berdebu, dimana kamu hanya melewatinya. Tanpa memiliki keinginan ingin mengetahui apa yang didalamku.
Kau kereta yang berjalan diatas rel tua dimana aku senja yang tak kau pedulikan cahayanya.

Tuesday 23 December 2014

Kepada Perempuan yang Dipuji Lelakinya

Kepada perempuan yang diberkati untuk dipuja lelakinya.
Kamu adalah perempuan yang mandiri, yang tidak merengek seperti seorang bayi saat lelakimu sedang bermalas malasan dengan kopi dan batang rokok dihari liburnya. Namun kamu seketika menjelma menjadi kucing yang manja untuk membuat lelakimu gemas dan berlama lama diatas tempat tidurnya.
Kamu adalah perempuan yang pandai, yang mudah mengerti apa mau lelakimu dan dengan sigap melakukannya. Namun seketika jadilah penuntut yang juga ingin dimengerti, ingatkan lelakimu untuk setiap hak yang kamu miliki.
Kamu adalah perempuan yang tulus, yang rela terbangun saat fajar. Menyiapkan sarapan untuk lelakimu dan kemudian membangunkannya. Ingatkan dia, bahwa wajib bagi lelakimu untuk mencari alat tukar kebutuhan dan mensejahterakan hidupmu.
Kamu adalah perempuan yang memang seharusnya dipuja lelakimu, saat kamu bersanding dengannya kelak, patrikan dalam benakmu setiap kewajiban yang harus kau upayakan dan terbukalah untuk setiap hakmu pada lelakimu. Berikan lelakimu kebebasan yang dia inginkan selagi itu tidak menyimpang dari janjinya dan memberatkanmu. Dan ketahuilah bahwa lelakimu terkadang memujimu dengan cara yang bahkan kau tak menyadarinya.
Kepada perempuan yang diberkati untuk dipuja lelakinya, jadilah perempuan yang mampu meluruskan jalan lelakimu ketika ia melenceng dari yang seharusnya.
Dan kepada perempuan perempuan yang seperti itu, kami lelaki akan selalu memujimu dan berterima kasih kepadamu.

Wednesday 17 December 2014

Rumah, Laci Laci Kecil Di Kepalamu

Bumi perputar pada kisaran waktu yang tidak diketahui.
Mungkin kita akan menua dan mati.
Mungkin kita akan menjadi bangkai pada saatnya nanti.
Tetapi saat ini kita hidup dan tidak tahu untuk apa kita hidup.

Setiap hari yang telah berlalu, mereka tidak hilang.
Mereka tidak menguap seperti halnya genangan air dijalan jalan.
Mereka memiliki rumah, laci laci kecil dikepalamu.
Mereka bersembunyi disana, menantimu untuk membukanya.

Kenangan demi kenangan tersusun rapi didalam kepala.
Entah itu kenangan manis atau kenangan yang rasanya ingin kau lupakan.
Mereka hidup dan menantimu.

Aku tidak memintamu untuk mengingat hari dimana kita bersama.
Aku tidak memintamu kembali ke masa dimana masih ada rasa pada definisi kita.
Tetapi aku hanya ingin kau tahu.
Bahwa aku masih hidup didalamnya.
Disalah satu laci didalam kepalamu.
Aku hanya memohonmu untuk membuka laci disana.

Satu hari aku memohon untuk kamu mengembalikan kekitaan kita.
Kemudian aku terlengkapkan kembali dengan menggenggam tanganmu.
Kemudian kau boleh meninggalkanku.
Sebab mungkin saat itu aku sadar, bahwa kau tidak akan pernah kembali.
Bahwa aku hanya dandelion yang lepas dari tangkainya.
Aku harus terbang dan mencari tanahku.
Sebab kamu adalah tangkai dimana aku tidak dapat mengakar padamu.

Aku adalah dandelion yang terbang sebelum saatnya aku lepas dari tangkai yang kudekap.
 

Saturday 6 December 2014

Berjanjilah

Berjanjilah, ketika kau tak menginginkanku. Bencilah aku.
Berjanjilah, ketika hadirku tak berguna untukmu. Jangan paksakan dirimu untuk menemuiku.
Berjanjilah, jika waktu telah mengurungmu dalam sendu. Jangan pernah menghubungiku dengan pilu.

Sebab mungkin aku yang sekarang masih rapuh untuk merelakan.
Aku masih terkutuk pada kebiasaan kebiasaan yang kau berikan.
Terjaga di pagi hari hanya untuk secangkir kopi ataupun memberondongi cerita pada senja diujung cakrawala.
Aku masih menemukan sedikit bahagia disana.

Sebab suatu hari, jika kau mencariku aku tak akan lagi ada.
Sebab aku telah pada titik seseorang yang benar benar merelakanmu.
Sebab aku telah menemukan bahagiaku.
Sebab aku telah sepenuhnya sadar bahwa cinta adalah tentang sebuah pengorbanan.
Untuk merelakanmu yang mungkin bahagia.

Friday 5 December 2014

Ketumbanganmu

Sebab debar ini milikmu.
Lalu bagaimana aku bisa hidup tanpamu ?
Sela jariku pernah terisi oleh jarimu.
Kita seperti puzzle yang saling mengisi.

Butir hujan jatuh menghantam tanah dan bagaimana aku yang tak bisa menatapmu yang tengah tergeletak.
Rebah, kau rebah dalam keputus asaan.
Tumbang dalam takdir yang hanya kau pasrahkan.

Lihatlah tanganku yang mengulur untukmu.
Aku ingin membangkitkanmu.
Jangan pasrah dengan keadaan, kau bukan kaca yang sudah tidak bisa utuh setelah jatuh.

Kumohon, bangkitlah dan raih tanganku.
Sebab aku adalah yang menuntunmu pada bahagia tanpa ujung.
Namun aku tak lagi menerima sambut, seperti dulu.

Mungkin sepertinya hadirku tak lagi berarti.
Seperti kopi yang berdiri diantara tawa.
Yang hanya dibiarkan dingin.
Sampai sadar.
Keterlanjuran membuatnya tak lagi dapat dinikmati.