Saturday 11 July 2015

bahagia (?)

                Hari ini begitu spesial, seharusnya seperti itu. Aku tengah mengenakan kemeja dan tuxedo rapi berwana hitam. Aku berjalan menuju sebuah gedung yang indah dengan dekorasi yang kesemuanya beraksen merah dan putih. Rangkaian bunga mawar tampak menghiasi sekitaran gedung ini, sangat indah. Tidakkah kesemuanya warna dan hal favoritmu ?
                Ini adalah sebuah perayaan yang harus aku hadiri, sejujurnya aku ingin melihat sebahagia apa dirimu saat ini. Aku membayangkan bagaimana senyummu tergambar diwajahmu dengan dress putih dan bouquet bunga mawar yang kau genggam di depan sebuah altar pernikahan.
                Disekitar gedung itu terdapat sebuah taman dan ada seorang petugas yang sedang menyirami tanaman dengan sebuah selang dengan airnya yang menyebar, seperti hujan. Mengingatkanku tentang satu hari dimana aku memulai untuk mencari senyummu, senyum yang seharusnya memang kau miliki.
***
                Kau datang bersama hujan, mencari kekasihmu yang aku pikir hilang yang entah ditelan waktu atau apapun itu. Kau menghampiriku yang sedang menikmati hujan dengan basah kuyup dan berantakan. Ada sendu dimatamu. Aku takkan melupakan saat itu, saat pertama kali kau datang dan membawa masalahmu.
                Sebenarnya aku tak tahu bagaimana kamu bisa dengan mudah menemukanku, sekalipun kau kekasih sahabatku bukankah kau tak pernah memiliki nomor ponselku ? Saat itu benar benar kau merusak suasana nyamanku, namun apa daya sorot matamu membuatku iba. Kau memohon kepadaku agar menemukanmu dengan kekasihmu. Aku menghubungi kekasihmu yang ternyata sedang nyaman dipelukan selimutnya. Curang pikirku
                Tak lama kekasihmu datang, aku sedikit mendengar bagaimana kau bertengkar dengan kekasihmu waktu itu. Suaranya tak cukup jelas karena tersamar oleh hujan. Kemudian kekasihmu itu memanggilku, meminta tolong kepadaku untuk menemaninya mengantarkanmu. Aku membawa motormu dan kalian berboncengan, dari situ aku baru sadar untuk menuju kemari kau sempat jatuh tapi kau tak menunjukkan lukamu. Sesampainya dirumah yang entah siapa itu kau turun dan mengucapkan terima kasih kepadaku tanpa menatapku, aku tahu hujan telah reda namun aku tahu dimatamu hujan baru saja dimulai. Mungkin sejak itu aku bersumpah kepada diriku sendiri bahwa aku yang akan menciptakan senyum dibibirmu, dan bersumpah membuat sahabatku menyesal telah melukaimu. Aku percaya kau mempunyai senyum yang sempurna untuk menertawainya dikemudian hari.
                Beberapa minggu berlalu setelah hari itu, hari dimana hanya kutemukan sendu dimatamu kau menghubungiku. Kita bertemu dengan rambut panjangmu yang sudah kau pangkas habis, aku sedikit kecewa atas perubahanmu. Dari matamu kau tak pernah bisa menyembunyikan sesuatu, kau masih menyimpan setumpuk rindu kepada mantan kekasihmu itu.
                Kita saling bercerita, tentang semua yang kita lakukan masing masing, dan terkadang kau menanyakan kabar kekasihmu. Seharusnya kau malu pada dirimu sendiri, dia mencampakkanmu. Sekalipun cinta itu buta, cinta juga tak juga sebodoh itu. Jika kau pikir cinta setulus itu, cintanya tak setulus yang kau pikir. Begitulah pikirku. Namun aku tak bisa berbuat banyak, siapalah aku saat itu, hanya seorang yang dekat dengan mantan kekasihmu. Tak lebih kupikir.
                Aku ingat, betapa sering dulu aku mengajakmu menikmati sore dengan senja diujungnya dipinggir kota. Tidakkah kau sadar pada saat itu aku sedang memberi tahu kepadamu tentang sesuatu yang disebut merelakan. Ini tentang senja dan surya yang jatuh di barat cakrawala. Lihatlah bagaimana bumi mampu merelakan hangatnya dan menyambut dinginnya malam. Bagaimana bumi rela hidup dalam gelapnya, dan gigil menyelimutinya setelah sang surya benar benar meninggalkannya. Ketahuilah bahwa hidup tidak tentang itu saja, bumi tetap melangkahi malamnya yang semakin meninggi karena dia tahu esok akan hadir hari yang baru, hangat yang menghilangkan gigil dan menguapkan segala embun yang menempel di segala tetumbuhan yang hidup dipermukaannya.
                Sebab aku hanya ingin menginginkanmu bahagia, sampai apapun yang kau inginkan jika aku mampu menyanggupinya aku akan menyanggupiya. Seperti hari dimana hari kelulusanmu dari perguruan tinggi. Karena aku sedang bekerja aku tak bisa untuk hadir dan merayakan hari kelulusanmu.
                Sebuah sore di akhir pekan setelah hari kelulusanmu, kita bertemu. Aku meminta maaf karena aku tak bisa hadir dan atas dasar itu aku memberikanmu sebuah permintaan yang akan aku kabulkan. Aku tidak pernah menyangka kau segila ini, permohonan yang sangat aneh. Kau hanya menginginkan seikat bunga mawar yang dijual di dekat kampusmu yang berada diluar kota. Karena aku telah berjanji aku mengabulkan keinginanmu.
                Kita berangkat ke kota tempat kampusmu berada untuk membeli seikat bunga. Kau memutuskan naik bus untuk pergi kesana, katanya kau menginginkan pengalaman berbeda. Aku tak tahu sebenarnya apa yang ada didalam kepalamu, aku hanya memegang janjiku. Sesampainya di kota itu dan kau mendapatkan seikat bunga  kulihat kau tersenyum. Memang seharusnya kau seperti itu, senyum membuatmu terlihat lebih cantik. Tetaplah seperti itu agar aku bisa tertawa mempecundagi sahabatku sendiri tanpa dia pernah sadar. Sebab aku telah menang atas satu sumpahku.
***
                Kini aku sudah berdiri di depan sebuah gedung tempat resepsi pernikahan akan diadakan, banyak tamu yang sudah hadir. Aku mengenal beberapa dari mereka yang seumuran denganku. Langkahku perlahan menuju pintu masuk, aku sesekali memperhatikan dekorasi yang memang sangat indah. Bunga mawar hampir ada disetiap sudutnya. Sampailah aku didepan pintu gedung yang cukup besar dan gagah, berwarna kecoklatan. Aku rasa ini dekorasi yang memang benar benar disukainya.
Kini dikejauhan aku sudah bisa melihat sebuah altar, yang sangat besar dan mewah dengan gebyok jawa sebagai background dari altar itu sendiri. Pernikahan yang berkonsep jawa dan modern, sederhana namun terlihat cukup berkelas. Di altar itu ada seorang wanita yang berdiri, menggunakan kebaya putih dengan payet yang berkelip seperti bintang dari kejauhan, yang sedang berdiri dan tersenyum dengan menggenggam bouquet kecil bunga mawar merah.
Aku berjalan menghampirinya, disetiap langkahku menujunya kenangan itu kembali hadir. Saat dimana bola matanya menikmati senja dipinggir kota dan mataku menatap matanya. Saat diamana aku merasa terlempar dan membentur bola matanya. Saat dimana aku menahan mulutku agar tak membunyikan perasaanku bahwa aku mulai jatuh hati kepadanya saat itu juga. Kemudian aku menyalakan rokokku dan menghisapnya seolah perasaanku juga akan ikut terlepas bersama asap yang juga keluar dari mulutku, namun tidak. Bagaimana udara mencekikku dengan menghadirkan dia didalam kepalaku disetiap kali aku menarik napasku saat tak bersamanya. Bagaimana aku mulai menyukai lagu bertempo pelan dan melamunkan dia ditiap malamku. Belum lagi hari dimana aku ingin mencuri satu kecupan dikeningnya saat ia tertidur didalam bus sambil memeluk bouquet mawar hadiah kelulusannya. Aku ingat betapa payahnya aku yang hanya berhenti kemudian mengusap keningnya saja dan kembali pada sandaranku kemudian memasang headset ditelingaku.
Kini wanita itu sedang berdiri didepan altar, dan aku  menghampirinya. Tidak, dia tidak sedang menungguku untuk menemani disampingnya di altar itu. Seorang pria dengan kebahagiaan yang tercetak diwajahnya sudah berdiri disampingnya. Dia adalah pria yang sekarang telah menjadi teman hidupnya. Dulu mereka bertemu ditempat kerja kemudian berpacaran dan lalu melakukan pernikahan beberapa hari yang lalu. Aku menghampiri mereka.
Cinta adalah sebuah pengorbanan, dan rasa adalah egoisme. Terkadang kau harus berkorban untuk seseorang yang kau cintai agar dia merasa bahagia tanpa kau pedulikan bagaimana keadaanmu setelahnya. Terkadang kau harus merelakannya pergi jika bahagianya memang bukan bersamamu. Terkadang kau harus bertahan, sekalipun lukamu sudah tak sanggup kau tahan. Dan terkadang hanya demi kebahagiaannya kau rela membunuh perasaanmu sendiri.

Kini kau telah menikah bersamanya, kuucapkan selamat dan semoga aku bahagia.

No comments:

Post a Comment