Friday 30 January 2015

Sepertimu Yang Kukenal, Dulu.

"Hai, bagaimana kabarmu ?" Aku yang masih pecundang ini masih takut menanyakan itu kepadamu. Kata itu nampak sederhana, namun seribu syukur jika kau benar seperti yang kuharap. Kau sedang baik saja, atau lebih dari itu. Kau bahagia dan kau sehat.
Malam ini hujan turun lirih pelan mencium atap atap rumahku, aku pelan pelan hanyut dalam perasaanku. Bukankah kau suka hujan ? Berlama lama pada cangkir kopimu, kau kecup mesra bibirnya (sepertinya aku iri pada benda mati) earphone-mu melantunkan lagu lagu bertempo lambat. Disekitarmu ada hening yang memekat.
Jika kau juga ingin tahu kabarku, aku baik, aku sehat, dan aku cukup bahagia. Ada banyak orang baik (dan bodoh) yang selalu membuatku merasa bahagia. Namun ketahuilah, aku yang tanpamu bukanlah utuh. Tidak, aku tidak mengharap kau kembali. Tidak, aku tidak.
Aku tidak akan menuliskan banyak kalimat malam ini. Aku ingin menikmati hujan. Sepertimu yang kukenal, dulu.

Saturday 10 January 2015

Kau dan Aku Semoga Beda yang Dipersatukann Tuhan

Dalam petak petak otak.
Ada kenangan yang tersimpan rapat.
Ada mimpi yang mencari tempat.
Kau tidak akan pernah mengerti tentang masa.
Dimana asa menjadi nyata, dimana mimpi tak lagi hanya menjadi do'a.

Aku berdiri ditengah masa ini.
Sebelum masa depan.
Sesudah masa silam.

Aku merapalkan doaku kepada Tuhan.
Memberikan apa yang tak aku miliki kepada-Nya.
Menyisipkan namamu pada bait bait yang kurapal kepada-Nya.

Bagian bagian diriku adalah milik-Nya
Begitupun kamu.
Sebab ketahuilah, kau bagian dariku, begitupun aku bagian darimu.

Sebab aku selalu berharap kepada Tuhan.
Bahwasanya kita benar satu yang ditakdirkan.
Bahwa kita adalah bagian yang saling menyempurnakan.

Semoga takdir tidak membawa kita kemana mana.
Semoga kita benar seperti apa yang aku mohonkan kepada Tuhan.
Doaku selalu berada pada lintasan.
Menuju kepada Tuhan.

Kau dan aku semoga beda yag dipersatukan Tuhan.

Monday 5 January 2015

Sheryl : Permulaan

Kuseduh tehku, sudah cukup kopi untuk hari ini. Malam begitu dingin, aku baru saja pulang, hari yang cukup panjang. Bintang tergantung diatas sana, mungkin beberapa dari mereka bersembunyi dibalik awan, seperti malu malu. Kenapa bintang bersembunyi ? Aku tidak akan menangkap mereka sekalipun mereka berkedip genit kepadaku. Dasar bintang pemalu.
Aku jadi teringat sesuatu. Cinta malu malu, aku juga pernah mengalaminya. Sheryl, bagaimana kabarnya ? Aku berjalan kembali kekamarku, menuju pada sebuah rak buku kemudian mengambil sebuah album foto dengan sampul tebal berwarna coklat tua. Aku kembali ke ruang tv, menikmati secangkir teh hangat yang ku buat tadi sembari melihat lihat album foto yang aku bawa. Aku duduk disebuah kursi santai, yang panjang agar aku bisa meluruskan kakiku. Aku duduk disana, aku buka album itu.
Pada foto pertama, aku melihat sebuah gerbang, gerbang sekolahan dengan pohon yang cukup rindang didalamnya, dengan pagar berwarna coklat dan nampak guguran daun berwarna kuning muda berserakan dibawahnya. Kisah ini berawal dari sana.
****
"Halo teman teman, nama saya Rio, Muhammad Satrio. Teman teman bisa memanggil saya Rio, saya murid pindahan baru disekolahan ini. Salam kenal." Sapaku sambil tersenyum kepada teman teman kelasku yang baru. Aku murid pindahan dari salah satu SMA di ibukota. Aku pindah ke kota ini karena orang tuaku dipindah tugaskan dikota ini. Tempat baru yang jauh dari hiruk pikuk macet ibukota. Aku sedikit bersyukur atas itu.
Hari itu hari pertama aku masuk kesekolah yang baru, seperti halnya murid baru aku harus beradaptasi disekolah ini. Ya, sepertinya orang orang disini baik baik dan ramah.
"Oi, kenalin, aku Edgar." Edgar adalah teman sebangkuku, dia mengajakku berkenalan. Teman pertamaku disekolah ini.
Bel sekolah berbunyi, pertanda jam pelajaran usai. Ya, sepanjang pelajaran aku tidak terlalu memperhatikan apa yang guru bicarakan, aku terlalu sering mengobrol dengan Edgar, kita saling memperkenalkan diri dan bercerita tentang masing masing.
Aku jadi tahu, dia orang yang cukup tidak peduli dengan pelajaran, dia juga sering membolos saat dia tidak ingin bersekolah. Aku rasa aku salah memilih teman, tapi untunglah, dia baik dan ramah kepadaku.
"Yo, kekantin yok. Laper ga sih ? Siapa tau kamu nemu gebetan disini."
"Ngga secepet itu kali gar." Jawabku sinis terhadapnya,namun dia tertawa. Aku beranjak dari bangku ku, mengikuti dia menuju kantin.
Seperti biasa, pemandangan kantin disetiap sekolahan selalu ramai dengan siswa. Entah mereka ingin makan atau sekedar bercanda dengan sahabatnya.
Setelah memesan makanan, kami memilih salah satu meja.
"Gimana ?"
"Apanya ?"
"Calon gebetan."
"Enggak lah gar, aku ga mau aneh aneh, aku anak baru disini."
Edgar tertawa, siang itu dikantin, kami tertawa dan Edgar mengenalkanku kepada beberapa temannya.
****
Kusesapi tehku, rasanya cukup pahit karena aku tidak terlalu suka mencampurkannya dengan gula. Terasa hangat mengalir ditenggorokanku, seperti sesuatu yang hidup kembali. Foto berikutnya ada Edgar, yang sedang tertawa bercanda dengan sahabatku yang lain, "bocah ini, semoga dia baik baik saja." Aku tersenyum, dia sahabatku yang entah sekarang bagaimana kabarnya. Kudengar dia bekerja di luar kota sekarang. Entahlah aku hanya mendengarnya, tidak memastikannya. Sebab aku sudah lama tidak berhubungan dengannya.
Lembar demi lembar kemudian aku lalui dengan senyum rindu kepada mereka yang pernah mengisi hidup. Sampai pada suatu lembar, ada seorang gadis yang tersenyum manis, bibirnya tipis dengan rambut yang hanya sebahu. Matanya selalu memikat, siapapun yang memandangnya. Sayu seperti putri malu dan tajam seperti pedang yang dihunuskan. Dia mengenakan seragam osis dan tas punggung putih dengan tiga garis merah membujur yang ada disebelahnya.
Sekarang seolah ada sesak yang menjalar, reronggaku tertutup rasa. Entah apa ini, seolah aku ingin berucap, namun tidak bisa dan tidak tahu harus berucap apa. Aku hanya tersenyum getir, membaca tulisan dibawahnya, "beloved Sheryl."
****
"Mampus, hp-ku kok ga ada. Kalo ilang, bakal di hajar bokap nih !" Seruku di kantin.
"Serius ? Kamu pelupa, coba diinget dulu. Jangan jangan dirumah." Sahut dimas.
Coba kamu telepon, siapa tau ada yang angkat yo. Nih pake hp-ku dulu." Edgar memberi saran.
Aku mengambil hp Edgar, kuketik nomor ponselku dan kupencet dial. Terdengar nada sambung.
"Eh masih aktif."
"Yaudah tunggu."
Cukup lama, nada sambung terus berbunyi dan tidak ada jawaban.
"Halo, Edgar ?" Suara seorang gadis dengan nada mengira.
"Bukan, aku yang punya hp itu."
"Oh iya, ini aku nemuin hp di salah satu meja perpus tadi. Aku tidak tahu harus bagaimana, kalau aku kasih guru aku kasian nanti kalo hp-nya disita. Makannya aku menunggu telepon. Aku masih di perpus, bisa ambil hp mu sekarang ?"
"Oh, iya. Terima kasih, aku kesana sekarang."
Aku segera berlari menuju perpustakaan untuk mengambil ponselku. Jaraknya yang cukup jauh dari kantin membuatku terengah sampai di perpustakaan itu. Perpustakaan sekolahku cukup besar dan lengkap, dengan meja meja yang tertata rapi ditengah dan satu meja ditiap raknya. Hari itu perpustakaan cukup ramai diisi siswa yang sedang mengerjakan tugas atau hanya sekedar membaca. Aku berhenti, ada banyak siswi disana. Lalu yang mana yang membawa ponselku ? Seharusnya aku mengajak Edgar tadi, sebab yang membawa ponselku mengenali Edgar.
Aku menengok kekanan dan kiri, mengira siswi mana yang membawa ponselku. Tapi tidak satupun yang aku yakini membawa ponselku.
"Kamu temennya Edgar ?"
"Iya." Aku menoleh ke kanan, mencari asal suara itu. Ada seorang gadis berdiri disana, dia menatapku. Aku tenggelam dalam matanya, tanpa aksara. Hening.
****
Pada mata yang berkilau, aku pernah jatuh dan tenggelam. Seolah detik berhenti ketika debar menjalar.
Seolah suara membisu dimana hingar hidup hanya didalam dada.
****
"Kamu nyari hp-mu ?"
"I-iya. Jadi kamu...."
"Kesini."
Aku mengikutinya masuk diantara rak rak buku, mengamatinya dari belakang. Rambutnya diikat, dia nampak anggun dengan kesederhanaannya.
"Kamu murid baru ? Seharusnya kamu tahu kalo disini tidak boleh membawa ponsel."
"Ya, aku tau. Lalu kenapa kamu juga bawa ?" Aku melihat gantungan ponsel di kantung roknya. Dia terkikik dan akupun mengikutinya.
"Ini hp-mu, jangan asal taruh lagi."
"Iya, maaf ngerepotin."
"Sudahlah."
Kemudian aku mengambil ponselku dari tangannya, kembali mengucap terima kasih lalu kemudian berjalan pergi. Menjauhinya, membawa ponselku dan juga debar. Debar yang tak diketahui dari mana asalnya.
****
Jatuh cinta mungkin benar benar seperti jatuh. Perasaan yang pertama kita rasakan adalah melayang layang, dan seperti itu adanya.
****
Malam sudah begitu larut saat aku tenggelam dalam kenangan yang muncul lewat lembar lembar foto yang tertata rapi di sebuah album. Kusesapi setiap kenangan yang hadir, terkadang aku tersenyum, terkikik dan kadang aku menelan getir, membaca caption dibawah setiap foto yang tertata. Kuambil tehku yang sudah tidak hangat lagi, aku minum dan merasakan kasap dilidahku yang sedari tadi mendiamkannya. Tapi sudahlah, teh hanya benda mati yang pernah hidup. Begitu juga kenangan kenangan yang ada didalam sini. Aku menarik nafas cukup panjang, sheryl mungkin sudah berubah. Mungkin dia sekarang berambut panjang dan nampak lebih feminin. Lelaki yang memilikinya mungkin beruntung, sangat beruntung. Sebab aku tak pernah memilikinya.
****
Mendung menutupi langit di sekolahanku. Mendung yang tebal, bahkan cahaya matahari tak mampu menembusnya, membuat setiap kelas menghidupkan lampu untuk penerangan. Beberapa murid sudah resah, sebab ini jam pelajaran terakhir. Jika nanti saatnya pulang tetiba hujan turun, kami akan kehujanan atau setidaknya kami akan pulang lebih lama karena berteduh. Hujan tidak akan memberi celah kepada kami untuk pulang.
Aku hanya melamun, memandangi keluar jendela. Pada lorong lorong sekolah aku berharap sheryl lewat dan menoleh kearahku. Setidaknya itu membuat suasana hatiku cerah, meskipun diluar mendung yang sudah seperti malam.
Pelajaran terakhir adalah pelajaran yang membosankan, apalagi diluar awan seperti sudah tidak mampu menahan air yang terkumpul diatas sana. Murid tidak memperhatikan apa yang diucapkan pengajar. Hanya ada mendung dan resah, aku mendengar desahan teman temanku. Hingga pada akhirnya hujan itu turun, hujan yang lebat dan rapat. Tak lama dingin menyusup kelas, beberapa murid minta ijin untuk mengenakan jaket. Sementara aku, aku masih dalam lamunanku yang berharap sheryl lewat di lorong lorong kelas.
Bel terakhir berbunyi, dan pengajar menutup pelajaran dihari itu. Salah seorang murid ditunjuk untuk memimpin doa dan kemudian pengajar keluar kelas.
"Aku berteduh dulu disini, ngga bawa mantol. Aku takut bukuku basah. Kamu duluan aja gar." Aku menolak ajakan Edgar untuk pulang.
"Yaudah, aku duluan ya ?"
"Ok."
Aku tetap duduk dibangku kelas, menunggu hujan reda dengan beberapa teman sekelasku yang bernasib sama. Sudahlah, sepertinya memang aku harus berlama lama disini. Menunggu hujan reda, hujan yang rapat dan lebat.
****
Seperti halnya menunggu hujan reda tak selalu mengharap pelangi. Namun terkadang kita hanya menunggunya reda dan pergi dari tempat yang sudah terlalu lama disinggahi. Waktu yang tepat untuk pergi adalah saat hujan itu reda.
****
Kini hujan hanya meninggalkan genangan air, dia sudah tidak lagi turun dari langit. Airnya sudah mengalir di parit parit dan pinggiran jalan. Syukurlah sepertinya aku sudah bisa pulang.
Aku berjalan menuju parkiran, suasana setelah hujan adalah salah satu hal yang aku gemari. Ada hening yang hidup, dingin yang membuatku ingin berlama lama diluar rumah. Aku suka suasana yang seperti suasana setelah hujan.
Sekolah sudah lumayan sepi, hanya ada beberapa murid, guru dan tukang kebun yang sibuk menyapu daun daun yang jatuh terkena angin dan hujan.
Ketika aku sampai digerbang sekolah, aku melihat gadis dengan rambut sepundak, yang menggendong tas punggung dengan tiga garis melintang.
"Sheryl."
Ya, kami sudah kenal. Setelah kejadian ponsel itu kami berkenalan dan sesekali bercanda saat kami bertemu dikantin atau berpapasan di lorong kelas.
"Eh rio, kamu ngagetin aku aja !"
"Kamu ngga pulang ?"
"Ini lagi nunggu mama jemput, tapi smsku ngga dibalas dari tadi, aku telepon tidak diangkat."
"Aku antar kamu pulang aja, ini sudah jam empat. Angkot juga sudah susah."
"Enggak ah yo, ngerepotin."
"Udah, ayo. Ngga papa. Aku juga pengen tau dimana rumahmu. Hehehe."
Aku pindahkan tas punggungku didepan supaya memberi ruang untuk sheryl membonceng dibelakang kemudian aku mempersilahkannya. Kemudian dia menghampiriku dan duduk.
Diperjalanan aku baru menanyakan rumahnya dan basa basi agar tidak ada canggung saat kita berboncengan. Ditengah perjalanan aku mendengar dia mengangkat telepon dari ibunya, aku diam dan sesekali mencuri pandang melalui kaca sepion.
"Mama ternyata tadi ketiduran nunggu hujan reda, jadi lupa jemput. Aku udah bilang mama kalo aku dianter kamu pulang."
Dia menerangkannya kepadaku, aku hanya mengangguk. Sebenarnya aku tidak terlalu mendengar apa yang dia ucapkan. Aku hanya senang bisa berdekatan dengannya.
"Yang pagar cat hijau itu rumahku." Dia menjelaskan padaku sembari tangannya menunjuk rumahnya yang ternyata tidak jauh dari sekolah.
"Makasih ya rio udah anter. Mampir dulu yuk."
"Enggak, ud...."
"Aku ga nawarin kamu, ayo masuk. Mama mau bilang makasih katanya tadi."
Dia turun, tangannya menyambar kunci motorku dan mematikannya. Aku terpaksa turun dan kikuk ini pertama kalinya aku main kerumah teman wanitaku sendirian. Aku berjalan dan sepertinya aku kelihatan salah tingkah. Entahlah.
"Assalamualaikum, mama aku pulang ma."
"Waalaikum salam, eh nak satrio ya ? makasih sudah nganterin sheryl pulang. Sini masuk, tante bikinin minum ya ?"
"Hehehe, iya tante. Terima kasih." Jawabku, aku sedikit malu.
"Bentar ya, aku ganti baju dulu" sheryl meninggalkanku diruang tamu sendirian.
Tidak lama ibunya datang membawa dua gelas cangkir putih diatas nampannya kemudian menaruh secangkir teh didepanku dan cangkir lain di sisi lain. Ibunya menanyakan rumahku, kelasku dan sedikit menceritakan tentang sheryl. Sekarang aku tahu sheryl adalah anak kedua dari dua bersaudara, kakaknya kuliah diluar kota mengambil jurusan kedokteran dan sheryl setelah lulus sekolah juga akan dikuliahkan ditempat yang sama seperti kakaknya.
"Pada ngomongin aku ya ?" Sheryl menyusul kami setelah mengganti pakaian sekolah. Dia menggunakan kaos putih dan celana pendek biru muda berbahan jeans. Sementara ibunya terkikik mendengar ucapan anaknya dan pamit kedapur.
Aku berdua dengan sheryl di ruang tamu, bercanda dan menikmati teh kami. Aku juga bercerita bahwa aku suka suasana setelah hujan.
Jam sudah menunjukkan pukul lima lebih, aku pamit ke ibunya karena sudah sore dan aku takut ibuku mengkhawatirkanku.
Aku pulang dengan senyum yang mengembang, ditemani suasana setelah hujan yang nyaman. Aku gembira, hari itu sudah terlambat bagi pelangi untuk tergaris dilangit, namun sepertinya pelangi sudah terbentang di hati dan pikiranku. Bahagiaku tak berujung.
****
Sebab bahagia itu sederhana, berada didekatmu dan menikmati garis bibirmu yang sedang tersenyum tipis.
****
Sejak hari itu aku dan sheryl semakin dekat, kami tidak lagi canggung untuk bersama di kantin atau menghabiskan waktu setelah pulang sekolah berdua. Bahkan aku mulai sering menjemput Sheryl dirumahnya untuk pergi kesekolah kemudian mengantarnya pulang saat sekolah usai. Karena aku bahagia saat berada didekat dia, aku berusaha untuk selalu didekatnya.
"Yo, kamu sama Sheryl pacaran ya ?"
"Enggak kok, kami cuma temen gar."
"Kok sering berduaan ?"
"Aku sering berduaan sama kamu juga kita ngga jadian kan gar ? Kamu mau tau aja deh."
"Kalo ngga jadian, berarti kamu naksir Sheryl ? Cie Bang Sat jatuh cinta~" Nada Edgar mengejek.
"Apaan sih ? !" Sahutku cepat.
Aku tidak mengerti apa perasaanku terhadap Sheryl. Aku hanya merasa nyaman bila didekatnya dan entahlah, seperti merasa aneh ketika dia tidak ada, bayangannya dimana mana. Jika ini cinta, ini adalah cinta pertama. Jika ini cinta, lalu bagaimana selanjutnya ? Apa aku hanya boleh diam, sebab aku tak tahu cara mengungkapkannya. Jika saja mengucapkannya mudah, seperti langit menghujani semesta dan aku menghujaninya dengan kata kata. Mungkin aku sudah tidak canggung lagi untuk menelponnya saat aku memikirkannya dan mengungkapkan perasaanku yang tidak suka saat dia berbicara dengan lelaki lain. Sekarang aku hanya mampu mengutuki diriku sendiri, aku ingin memilikinya tapi aku malu mengungkapkannya.
****
Suara guntur membuyarkanku dari lamunan, dasar guntur sialan. Aku menengok ke arah jam dinding, sialnya ini sudah pukul dua dan aku masih terjaga diantara remang lampu ruang, hujan dan tangan tangan rindu yang sudah mulai mencekikku.
Aku berpacaran dengan beberapa gadis lain saat aku lulus SMU, namun setiap kali hubunganku berakhir aku teringat dengannya kembali. Sheryl, seorang gadis yang pernah menenggelamkanku dalam ketidak tahuan yang mungkin akan disebut sebagai cinta.
Aku beranjak dari kursiku, menaruh cangkir teh kedalam wastafel didapur kemudian berjalan ke kamar, membawa album foto yang berwarna coklat tua itu.
Aku duduk di kasur kamarku, menyandarkan tubuhku di tembok yang dingin. Korden di kamarku masih terbuka dan pandanganku menembus keluar, hanya ada gelap yang pekat dan bintik hujan yang menempel di kaca jendela itu.
****
Rindu sedang mengetuk ngetuk jendela kamarku, mereka berbentuk bintik hujan. Hujan yang deras dan rapat.
****
Hari itu hari dimana kami satu sekolah berlibur ke Bali, semua murid satu angkatanku ikut disana. Indahnya aku menikmati liburanku kali ini aku bersama seseorang yang selalu membuat aku berdebar ketika menatap matanya.
Sheryl nampaknya juga senang kita bisa berlibur bersama, menikmati indahnya pulau dewata bersama. Berlama lama berdua sepanjang hari, menikmati matahari tenggelam di pantai pantai yang indah, rasanya aku ingin mengurung saat ini, menghentikan waktunya dan bisa lebih lama dengannya.
Namun, perasaanku semakin berontak. Aku ingin mengungkapkan perasaan padanya saat ini, aku pikir waktunya tepat. Aku sudah tak bisa berlama lama lagi menahan rasa ini. Bagaimana aku bisa menahannya, saat aku memandang senyumnya yang diterangi cahaya senja dan rambut yang tertiup angin itu hatiku seakan melompat dan berteriak meminta kebebasan rasanya. Sumpah mati aku juga ingin menciuminya saat ini.
"Sher ?"
"Ya rio ? Kenapa ? Serius amat sih. Didepan ada matahari yang cantik tuh."
"Iya, eeeehh. Sher, aku..."
"Kamu aneh, kenapa sih ?"
"Aku..."
"Didepan ada senja yang cantik, perpisahan itu indah jika ada kepastian kapan bertemu lagi. Seperti senja sekarang, dia sedang memintal janji kepada bumi untuk menemuinya lagi dalam beberapa jam."
"Ha .... kamu ngomong apa sih ?"
"Iya, aku takut perpisahan yang penuh haru dan memintal rindu tanpa kepastian."
"Hahaha kamu ngomong apa sih sher ?"
Dia hanya menatapku kemudian tersenyum manis, senyum tipis yang disinari senja. Aku terduduk di pasir, menelan apa yang ingin aku ucapkan. Mungkin memang aku tak bisa memilikinya. Aku pikir jika aku meneruskan perkataanku dia akan menolakku. Bukan saja hatiku yang akan hancur, tetapi mungkin juga kebersamaan kita. Aku takut kehilangan, aku telan segala rasaku yang tadinya manis kini menjadi getir.
Sesaat aku tertunduk lesu, dan ombak sedang menyorakiku. Aku pikir aku semakin merasa payah dengan diriku. Suasana yang tadinya menyenangkan mendadak hening. Aku kalut dalam tindakanku.
"Yo, kita ngumpul sama temen yuk. Nanti kita ditinggal disini loh, sebentar lagi kita balik ke hotel. Yuk ah."
Dia mengulurkan tangannya, aku memandanginya kemudian menyambut uluran tangannya. Kami bergandengan tangan dan menghampiri teman teman kami.
"Cie Satrio, Sheryl. Udah jadian nih ?" Celetuk salah satu teman kami.
"Apa sih ? ! Mau tau aja deh ! Rio, kita diledekin."
Aku memandanginya, dia cemberut, sangat lucu. Dia sering melakukan itu, dan aku terkikik ketika menatapnya.
"Heh, jangan ganggu ya !" Bercandaku dengan teman teman. Kami sekelompok tertawa riang. Dan kami melanjutkan perjalanan kami pulang menuju hotel.
****
"Ada yang jadian nih !" Teriak Edgar di kamar hotel. Memang aku sekamar dengan Edgar dan dua kawan kami lainnya. Teman teman sekamar mengerti maksud Edgar dan mulai memberondongku dengan ledekan mereka.
Aku sudah tidak memikirkan kejadian tadi, aku menanggapinya santai. Sepertinya hal itu juga terjadi dengan Sheryl sekarang, aku tidak tahu dia menjawab apa atas ledekan teman temannya.
Ponselku berdering, tercantum tulisan "Bapak" disana, akhirnya aku bisa lari dari ledekan teman teman tentang aku dan Sheryl. Aku ke beranda kamar hotel dan menutup pintunya agar suara gaduh didalam tidak masuk ke ponselku, aku angkat telepon dari ayahku. Ayahku menanyakan kabar dan bagaimana liburanku, beliau juga mewanti wanti untuk menghemat uang jajanku.
Beranda kamar hotelku menghadap kolam renang hotel itu, yang diterangi lampu sehingga memantulkan bayang gelombang air itu ditembok tembok hotel. Di sekeliling kolam renang itu ada kursi kursi panjang berwarna coklat pastel dan beberapa pohon kelapa. Aku lihat sheryl sedang duduk sendirian di salah satu kursi itu, memandangi kolam dan sesekali memainkan ponselnya. Segera aku memohon kepada ayahku untuk mematikan teleponnya dengan alasan aku akan makan malam bersama.
Segera aku turun dari kamar hotelku, menghampiri Sheryl yang sendiri di kolam renang.
"Kamu ngapain sendirian disini ?"
"Capek diledekin temen temen dikamar, mereka ngira kita pacaran."
"Kamu jawab apa ?"
"Aku jawab sekenanya, aku juga ikut tertawa bersama mereka tapi lama lama capek, makannya aku kesini."
"Aku juga, tapi aku selamat setelah ayahku telepon dan aku melihatmu sendiri disini."
Kami berdua disana, menikmati malam itu dan bercanda. Sejak waktu itu aku tidak pernah punya niatan untuk mengungkapkan perasaan kepadanya, aku juga tidak ingin mengetahui perasaannya sejak saat itu. Bagiku, bisa selalu berada didekatnya itu lebih dari cukup bagiku.
****
Kepalaku terasa ringan, langit langit kamarku seolah seperti layar proyektor dan kenangan itu diputar diatas sana. Ada nyeri pada sebuah perpisahan yang tidak diharapkan, dan rindu akan terus meranggas seperti rumput dikemarau panjang. Detik seolah tak memberiku celah untuk bertemu lagi dengannya.
****
Hari berganti begitu cepat setelah kami semakin dekat. Setahun terasa begitu cepat, detik bagai penggesa yang tak ingin menunggu. Waktu seolah memburu kami, ia membawa pedang lalu kemudian menebas genggam kami.
Hari ini adalah hari perpisahan bagi kami. Kami lulus dari SMU tersebut dan punya tujuan masing masing setelah ini. Aku kembali menuju ke kota asalku untuk meneruskan kuliah ekonomi, sementara Sheryl mengikuti jejak kakaknya untuk sekolah kedokteran.
Sekolah kami mengadakan acara malam perpisahan yang diadakan di aula sekolah yang cukup luas. Hari ini aula itu tampak berbeda, ada banyak lampu lampu yang tergantung mengelilingi ruang. Diujung ruang terdapat panggung kecil yang diisi oleh alat band dimana adik angkatan kami akan unjuk bakat menghibur kami. Disisi lain ada meja meja yang diisi berbagai makanan dan gelas gelas minuman yang tertata rapi.
Hari ini, aku harus mengungkapkan yang seharusnya aku ungkapkan beberapa waktu yang lalu. Aku tidak ingin ada yang mengganjal ketika kita benar benar berpisah. Tidak boleh ada haru malam ini, aku akan mengungkapkan segala perasaanku kepada Sheryl bagaimanapun caranya. Aku tahu ini akan susah, sebab selalu ada canggung ketika mengucapkan kalimat itu sekalipun sudah berlatih didepan cermin. "Sheryl, aku mencintaimu."
Aku mengenakan kemeja merah dengan rompi berwarna abu abu gelap yang dilengkapi dasi hitam. Sheryl tampak sangat anggun. Dia mengenakan mini dress biru langit, dengan rambut yang diikal. Tidak ada orang yang menyangka bahwa itu Sheryl yang biasanya hanya menguncir kuda rambutnya. Semua mata mengarah kepadanya.
Gugupku bertambah, seolah aku ingin bungkam saja dan menyimpan perasaanku. Debar yang dulu hilang setelah dekat dengannya kini hadir lagi. Aku tidak tahu kenapa aku berkeringat, padahal ruangan ini sudah dipasangi AC.
Sheryl berjalan mendekat. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku ambil gelas minuman dimeja sebelahku berdiri, kemudian aku tersenyum menatapnya. Dia melempar senyum kepadaku, menghampiriku. Sheryl berubah sesosok bidadari yang berjalan kearahku, tanpa sayap. Tak ada bulu beterbangan disana, hanya ada debar. Debar yang semakin dekat semakin cepat.
"Yo, kenapa ?"
"Ah enggak Sher, kamu cantik hari ini. Minum ?" Aku menyodorkan gelas yang aku pegang.
"Terima kasih."
Aku melihat disekitarku, semua orang memandangi kami. Murid, guru, adek kelas yang mengisi acara malam itu. Semua. Seolah kami adalah matahari dan mereka adalah planet planet dan bintang yang mengitari kami sebagai pusat tata surya. Aku gugup dengan tatapan mereka.
"Ga kerasa ya Yo, 2 tahun lebih ita bareng. Eh udah lulus aja." Sheryl mematahkan perhatianku pada tatapan mata orang orang disekitar kita.
"Ya, aku pikir waktu tak mau menunggu sedikit lagi. Sedikit saja." Aku sudah tak ingin menyembunyikan perasaanku lagi. Sebab kalau bukan sekarang kapan lagi ? Setelah ini kami benar benar berpisah dan entah kapan lagi akan bertemu. Rasanya seperti jodoh yang dipisahkan oleh maut. Yang berharap akan bertemu lagi di alam baka, namun Tuhan akan menghapuskan pikiran duniawimu sebelum memasukinya. Sedih, haru, namun harus menahannya. Benar benar harus ditahan, kecuali apa yang ingin aku ucapkan.
"Memangnya kenapa jika waktu mau menunggu ? Ada yang masih pengen kamu lakuin disini ?"
"Ya." Aku menatap matanya, menguatkan diriku untuk mengucapkan apa yang seharusnya aku ucapkan sejak dulu.
"Apa ?" Sheryl mengucap dengan nada yang penuh tanya. Seolah bingung akan diriku yang mantap berucap dan menatap matanya dalam dalam.
Sher, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” Aku menggandeng tangannya, menuju tempat yang jauh dari orang orang.
"Sher,sebenarnya aku sudah lama ingin mengatakan ini. Aku berdebar saat aku pertama kali menatap dirimu. Debar yang selalu tak pernah mengerti maksudnya. Aku selalu merasa lengkap ketika berada didekatmu, dan merasa kosong saat kamu tidak ada didekatmu. Aku senang saat tahu dimana rumahmu dan selalu berusaha bangun lebih pagi agar bisa menjemputmu. Aku suka kamu saat berada dibelakangku saat membonceng, yang terkadang jahil menarik narik jumper-ku seolah aku kuda yang menarik kereta dan kamu kusirnya. Mungkin aku jauh cinta, mungkin ini cinta. Semoga ini cinta. Sher, aku jatuh cinta kepadamu.”
Sheryl diam, menatap mataku. Seolah dia sedang menilaiku apakah aku bersungguh sungguh dengan setiap perkataan yang aku ucapkan. Aku sedikit gugup, hingga terkadang aku menundukkan kepalaku. Dia menatapku begitu dalam, mencari sesuatu didalam mataku.
"Sher, ini kali pertama kali aku merasakan hal seperti ini. Mungkin aku jatuh cinta ke kamu. Ini hari terakhir kali kita bertemu. Besok aku sudah kembali ke kotaku dan kamu juga pergi dari sini. Menyesal jika aku tak mengungkapkan apa yang aku rasakan."
Sheryl masih menatapku, namun tiba tiba ekspresi wajahnya berubah, mungkin dia sudah menemukan kesungguhanku. Namun itu bukan ekspresi yang aku inginkan, mukanya sedikit memerah dengan air yang tampak penuh pada matanya.
"Yo." Sheryl berucap dengan suara yang bergetar, seolah dia menahan sesuatu, sementara aku yang sudah berhasil mengungkapkan perasaan yang selama ini belum bisa bernafas lega. Sheryl melanjutkan ucapannya :
"Aku juga memiliki rasa yang sama, kepadamu." Air matanya tak tertahan. Mengalir dipipinya.
"Aku benci kita berpisah, tapi bagaimana lagi. Kita memiliki mimpi masing masing yang harus dicapai. Hidup kita masih panjang. Semoga kita bertemu suatu hari lagi nanti, dengan mimpi kita yang sudah ada di genggaman. Semoga."
Sheryl tertunduk, ada isak yang keluar dari mulutnya. Dia sesekali menghapus air matanya dengan tangannya. Mungkin rasa kami sama. Pahit. Getir. Menelan perpisahan kali ini tidak semudah biasanya, saling tersenyum dan mengucap selamat malam kemudian pagi bisa bertemu kembali. Kami setemaram lampu yang menerangi kami di taman kecil dibelakang sekolah kami.
"Sher, kita pasti akan bertemu kembali. Aku janji. Ini adalah hari bahagia, bukannya kita juga sedang merayakan hari kelulusan kita seperti teman teman kita di aula. Lagi pula kenapa kamu berdandan cantik hanya untuk menangis ?" Aku berusaha tersenyum, mengangkat wajahnya yang tertunduk dan menghapus air matanya. Kemudian dia tersenyum, seolah mengatakan tidak ada apa apa. Tak lama aku memberanikan diri untuk memeluknya. Kita berpelukan dibawah pendar temaram lampu taman. Temaram seperti rasa sedih yang kami tutupi.
"Aku bakal kangen banget sama kamu, jaga dirimu. Untukku dan mimpimu sendiri."
"Iya, aku juga yo. Sering sering hubungi aku ya."
"Pasti."
****
Malam itu aku kembali ke aula, Sheryl memeluk tanganku seolah dia tak ingin lepas malam itu. Akupun tak ingin lepas dari dia. Kami mengikat diri semalaman untuk tak berpisah walaupun sebentar. Setelah ini kami benar benar akan berpisah dan akan sulit untuk bertemu.
Hari sudah pagi, matahari sudah memperlihatkan lengannya dan siap untuk mengangkat dirinya. Aku bersandar di kamarku menerawang keluar kearah surya akan muncul. Menerawang ke arah masa silam, dimana masih ada cinta yang tumbuh malu malu dan menggelitik rinduku pada cinta pertama.
Setelah hari terakhir kami bertemu, aku masih sering menghubunginya. Menanyakan kabarnya, saling bercerita tentang keadaan sekarang, dan saling mengucapkan rindu. Sampai rutinitas memangkas keakraban kami. Sheryl juga sudah tidak ada kabar, nomor dan kontak lainnya sudah ganti. Aku hanya sesekali menelan rindu kepadanya. Aku tak tahu bagaimana dengan dia.
Seseorang tidak akan pernah tahu dengan siapa dia akan jatuh cinta dan karena apa. Seseorang tidak akan pernah mampu bagaimana mendeskripsikan cinta ketika dia jatuh cinta. Dia hanya tahu bahwa debar yang dipunyai telah memilih tuannya. Terkadang seseorang akan tahu apa itu cinta ketika dia kehilangan sebagian cintanya.

-Tamat-