Sunday 28 September 2014

Selamat Ulang Tahun, Albert

"Jika waktu adalah peluru, pikirkan setap lesatannya. Sebab tak ada yang dapat dikembalikan dari waktu yang sudah berlalu."
Pada ruang yang pengap ini ada lelaki yang duduk dengan tertunduk, pada bangku kayu yang sedikit usang. Diatasnya ada lampu kecil yang berpendar tipis, yang hanya menyinari pria tersebut. Kemeja itu nampak lusuh, dengan bercak hitam didadanya. Dia mengenakan celana jeans hitam yang dibagian pahanya nampak basah mungkin karena keringat yang menetes dari dahinya. Tangannya hanya jatuh kebawah dan pasrah.
Dihadapanya ada seorang pria, dengan mata menyala. Mata yang menyorot tajam dan dipenuhi dengan amarah yang seraya sudah menumpuk sejak lama. Tangan kanannya mengepal keras, seolah ada benda yang ingin dia hancurkan didalamnya. Nafasnya berat, rokok yang menyumpal di mulutnya tak membuat mata pria itu pedih. Seolah amarah sudah habis membakar dirinya.
****
Siang itu kantin kampus begitu ramai, banyak mahasiswa yang berada didalamnya hanya untuk menghabiskan rokok, makan atau sekedar menikmati minuman dingin. Sebab cuaca begitu panas, matahari sedang bahagia, sebab dia tersenyum diatas kita.
Begitu juga dengan Albert dan Edward. Mereka duduk di depan kantin itu, tempat favorit mereka untuk menghabiskan waktu disela sela waktu mereka. Mereka adalah sahabat, Edward sang pendiam dan Albert si periang. Mereka bersama sejak awal kuliah dimulai, dan mereka selalu berbagi satu sama lain.
Mona, gadis cantik yang menarik mata setiap adam disana. Lesung pipinya begitu manis ditambah tataan giginya yang begitu rapih menambah senyum indah di wajahnya. Rambut pendek dengan warna blonde membuatnya semakin menggemaskan. Tatapannya ramah, seolah setiap orang akan betah berlama lama dengannya. Dia sempurna yang hidup, yang berjalan mendekat ke arah mereka. Dia berjalan dengan anggun memakai celana jeans biru muda dan blouse hitam lengan pendek.
"Dia siapa Chard ?"
"Mona, kenapa ?"
"Dia cantik, kenalin dong."
Ya, tidak ada yang dapat menolak untuk jatuh hati kepada Mona, Mona Allisia.
"Ya sudah aku kenalin, tapi traktir makan ya ?"
"Nyet..."
Richard sudah memendam rasa sejak lama kepada Mona, teman SMA-nya yang hanya dia pandangi ketika masih di bangku sekolah. Namun bagaimanapun Albert adalah sahabatnya dan dia tidak pernah menolak permintaan Albert. Albert sudah begitu baik terhadapnya, disaat Richard butuh bantuan Albert, dia selalu ada. Ini hanya permintaan kecil dari sahabat karibnya.
"Mon..." Richard memanggil Mona sambil mengangkat tangan kanannya.
"Hey, kamu Richard kan ? Apa kabar ? Kamu kuliah disini juga ?"
"Iya, baik. Loh kamu kuliah disini Mon ? Kok ga pernah liat ?"
"Iya, aku lanjutin S1 di sini. Dulu aku cuma ambil D3 di kampus yang lama. Yaampun lama juga ya ?"
Mona tersenyum, sangat manis. Richard teringat saat dia masih SMA, senyum dan keramahannya tak berubah. Sekalipun Richard jarang berbincang dengan Mona, Mona masih mengenalinya.
Albert menyenggol tangan Richard seraya mengingatkan agar Albert dikenalkan dengan Mona.
"Eh Mon, kenalin ini temen aku. Namanya Albert."
"Hai, Mona."
"Ya, Albert."
Albert tersenyum, dia menggenggam tangan mona saat bersalaman. Tangannya halus, Albert merasa sepeti menyentuh awan, tatapan Mona juga hangat. Albert jatuh cinta.
****
"Kau tahu dia itu milikku, tapi kenapa ? Kau sahabatku dia milikku !"
Pria yang berdiri dengan mata yang menyala seperti api itu berteriak kepada lelaki yang lemas terduduk di kursi, dia mengecap setiap perih. Merasa dikhianati oleh sahabatnya sendiri. Seperti ditusuk belati dikhianati lebih sakit dari itu.
"Disaat pertama aku bertemu dia, aku tahu ucapmu berat, jika kau mencintainya dari awal sebelum aku hadir. Kenapa kau tidak menceritakannya ? Aku ini sahabatmu brengsek ! Aku tidak akan mencintai yang kau cintai sebelumnya."
Pria itu hanya tertunduk, mungkin dia menyesal dan hanya mampu diam. Sadar bahwa dia telah mengkhianati sahabatnya sendiri. Tapi tidak ada cinta yang tidak butuh pengorbanan, mungkin mengkhianati sahabatnya adalah pengorbanan yang dia lakukan untuk mendapatkan cintanya. Cinta seperti jalan dimana kita berjalan diatasnya, entah kemana dia akan membawa kita.
"Kenapa ? Diam bukan berarti jawaban bajingan, asu !"
Pistol diarahkan ketubuh pria yang lemah itu, dia tidak peduli lagi siapa pria itu. "Dooorr" peluru itu melesat kearah pria yang hanya lemas terduduk itu.
****
Hari banyak berlalu, musim berganti, Albert dan Mona kini sudah menjadi sepasang kekasih. Banyak tawa diantara mereka. Bahagia ada bukan karena ada diantara mereka yang pandai melucu namun karena mereka bersama. Richard masih sendiri, namun dia juga bahagia melihat sahabatnya mencinta. Dia mengubur cintanya terhadap Mona, seseorang yang pernah dia kagumi. Seseorang yang bayangnya selalu hadir disetiap rebahnya menuju lelap.
"Chard, aku minta bantuanmu. Bisa kita bertemu bicara dan bertemu ? Aku tunggu di cafe jam 7 malam." Mona mengirimkan pesan teks tersebut kepada Richard.
Mona sudah datang lebih dulu, memesan makanan dan menunggu Richard. Richard datang agak terlambat.
"Kamu sudah menunggu lama ? Aku tidak melihat kendaraanmu di parkiran, aku pikir kamu belum datang."
"Tidak, aku tadi naik taksi, duduklah."
"Kamu ingin minta tolong apa ? Kalau bisa aku akan membantumu."
Richard memang orang yang ringan tangan, dia selalu mau jika dimintai tolong seseorang selagi bisa. Dia percaya, bahwa kebaikan akan membawa karma yang baik dalam hidupnya.
Mona menjelaskan ingin memberikan hadiah kepada Albert, dia meminta tolong kepada Richard untuk membantu mencarikan hadiah yang tepat untuk kekasihnya yang akan berulang tahun. Sebab Richard adalah karib Albert, dia pasti tahu apa yang disukai kekasihnya.
"Dia suka replika karakter animasi jepang. Dikamarnya ada banyak seperti itu, terutama replika Gundam. Mungkin itu favoritnya."
"Ada yang belum dia miliki ?"
"Mungkin Gundam Platina, dia pernah bercerita mau ke Singapura untuk membelinya. Sebab replika itu tidak dijual di Indonesia."
"Kita tidak mungkin ke sana."
"Kemarin aku mengantar ponakanku ke toko mainan untuk membeli Hot Wheels, dan aku melihat robot itu dipajang."
"Kita beruntung, besok temani aku membelinya."
"Baiklah besok sore kita kesana."
Wanita ini begitu perhatian terhadap kekasihnya, beruntung Albert. Pantas saja dia mencintainya lebih dari apapun.
"Sudah larut, sebaiknya aku mengantarmu pulang."
"Tidak, nanti aku merepotkanmu. Aku naik taksi saja."
"Tidak aman naik taksi sendirian jam segini, aku akan mengantarmu pulang."
Richard mengantar Mona pulang ke rumahnya yang sebenarnya tidak jauh dari cafe tempat mereka bertemu tadi.
"Chard, terima kasih sudah mengantarku pulang, mau mampir ?"
"Anggap saja aku hanya memastikan pacar sahabatku baik baik saja. Tidak terima kasih."
"Maaf kalau aku banyak merepotkanmu."
"Sudahlah, masuklah kerumah, aku titip salam saja sama orang tuamu."
Setelah Mona masuk kerumahnya,Richard meninggalkan rumah Mona. Dia membayangkan wajah Mona disepanjang jalannya menuju pulang. Tidak dapat dipungkiri bahwa Mona pernah hidup didalam hatinya. "Tidak, dia kekasih sahabatku. Aku tidak bisa jatuh cinta kepadanya." Ucapnya dalam hati.
Keesokan harinya Richard berangkat ke kampus, sebab hari itu dia ada jadwal kuliah hingga sore. Dan hari ini dia sudah berjanji untuk menjemput Mona dirumahnya setelah dia selesai dengan jadwal kampusnya.
Sore itu, senja cukup cantik. Richard sudah memarkirkan kendaraannya didepan rumah Mona. Sebelum mengetuk pintu dia merapikan sedikit baju dan rambutnya. Dia mengetuk pintu rumah yang bergaya modern minimalis itu.
"Permisi."
"Eh Chard sini masuk. Aku siap siap dulu. Duduk, biar mbok bikinin minum."
"Ngga usah Na, ngerepotin. Lagian kita langsung jalan habis ini."
Oke, tunggu ya."
Richard duduk di ruang tamu, kursi kursi berwarna pastel dan tembok yang dicat putih sangat pas. Ada bonsai plastik yang ditaruh di meja pojok dekat kursinya. Didepannya ada foto keluarga yang difigura, ada ayah dan ibu Mona di foto itu.  Disana ada Mona yang memakai dress merah dan disampingnya ada wanita, mungkin kakaknya.
"Hai, kok malah bengong liatin foto itu ? Itu kakakku, dia kerja di luar kota. Jangan ngarep, dia sudah punya pacar !"
"Tidak, aku hanya memandangi keharmonisan kalian."
Kemudian dia menengok kearah Mona, dia menggunakan dress warna orange yang dilapisi bahan satin warna putih yang membuat dress itu terlihat lembut. Rambut pendeknya dihiasi cepit berbentuk capung.
"Capung itu terlihat seperti hinggap di rumput yang kering."
"Jangan ngeledek ya."
"Tidak Mona, kamu cantik dengan semuanya." Kata hati Richard.
Mereka di mall, berjalan seperti sejoli yang kadang bercanda kadang saling cubit. Mereka sangat menggemaskan.
"Eh mon, mau kemana ? Disini."
Richard menunjuk toko mainan itu, kemudian meraih tangan Mona dan mengajaknya masuk.
"Ini Gundam Platina, benda yang dia suka."
"Ini serius harganya ?"
"Kenapa ? Ini barang limited, jarang jarang yang punya."
"Tapi aku ngga bawa sebanyak itu, sebaiknya kita cari yang lain."
Muka Mona tampak lesu, benda itu terlalu mahal dan uangnya tidak cukup. Senyum di bibirnya musnah. Richard mem perhatikannya.
"Udah pakai punyaku dulu, kapan hari kamu boleh menggantinya."
"Serius boleh ?"
"Iya."
Dia tersenyum lagi, dan Richard pun menatapnya. Richard merasa puas melihat senyum Mona lagi. Richard tidak bisa menolak suara hatinya. Dia masih menyimpan bayang Mona di sana.
"Udah dapet, makan yuk. Thanks ya udah minjemin."
"Yok, diatas ada resto yang enak banget katsu-nya."
Mereka makan malam, katsu di resto diatas mall tersebut. Resto itu cukup ramai, sebab tempat itu memang sudah terkenal sejak mall itu dibuka. Mereka menikmati makan malam mereka dengan bahagia. Mona mendapat hadiah untuk kekasihnya, Richard bahagia karena dengan Mona.
Setelah makan mereka pulang. Di jalan raya mereka bercanda. Pendar lampu jalan menjadi saksi kebahagiaan mereka.
Mobil Richard berhenti tepat didepan rumah Mona. Jalanan masih saja sepi. Warga ditempat itu tidak pernah keluar rumah untuk bersosialisasi dengan tetangga. Tidak ada kearifan lokal, tempat itu sudah terlalu modern.
"Aku antar kamu masuk, aku tadi tidak pamit orang tuamu. Tidak sopan jika aku tidak pamit sekarang."
"Ya udah, mampir dulu."
Richard pun mengantarkan Mona masuk ke rumahnya. Dia mengetuk pintu rumah Mona, namun yang membukakan pintu pembantunya.
"Loh mbok, papa mama belum pulang ?"
"Belum non, tadi telepon katanya tuan pulang besok pagi."
Orang tua Mona memang jarang dirumah, mereka sibuk mengurus pabrik konfeksi warisan dari kakek Mona.
"Yaudahlah Mon, aku balik aja."
"Serius ? Udah di depan rumah ga mau masuk ?"
"Kapan kapan lagi deh Mon."
Rupa rupanya Albert mengikuti mereka dari mall, tanpa sengaja Albert melihat mereka dari kejauhan. Mereka yang tampak mesra membuat Albert cemburu karena Mona adalah kekasihnya. Dia parkir jauh dari rumah Mona, supaya tidak ketahuan oleh mereka.
"Brengsek, apa yang dia lakukan. Dia berkencan dengan kekasihku."
Albert membuka dashboard mobilya, mengambil pistol yang dia selipkan dan mengisi pelurunya. Memasang perdam pada ujungnya agar tembakannya tidak mengeluarkan suara.
Richard keluar dari rumah Mona, dia terlihat bahagia karena ada senyum diwajahnya. Sebelum membuka pintu mobil, dia melihat ada bayangan yang mendekatinya. Ada seseorang yang datang dari gelap. Bayangan itu semakin mendekat, itu Albert. Wajahnya padam, terlihat dia benar benar marah. Dia mengeluarkan pistol yang dia genggam di tangan kirinya. Dia mengarahkan pistol itu ke sahabatnya, Richard.
"Bert, gue bisa jelasin ke lo."
"Bajingan."
Albert menarik pelatuknya, peluru sesaat langsung melesat menembus kepala Richard. Darah melompat dikepala Richard, seperti air yang dilempar batu. Richard terjatuh mulutnya mengeluarkan darah. Tanpa pikir panjang Albert menghampiri jasad Richard dan memasukkannya ke mobil Richard.
Albert mengendarai mobil Richard dengan cepat, dia meninggalkan mobilnya begitu saja. Dia berjalan ke arah pelabuhan, ke sebuah gudang tua yang sudah tidak terpakai. Dia memanggul jasad Richard dan didudukkan di sebuah kursi yang usang.
****
Peluru itu melesat menembus dada pria itu dan dia masih saja diam. Dia sudah mati sebelum ini.
"Kau teman paling bajingan yang pernah kumiliki ! Aku melihatmu berbincang dengan kekasihku disebuah cafe dan kamu mengantarnya pulang ! Aku tahu kamu tidak !"
Albert menggenggam pistol itu, rokok yang menyubal mulutnya hampir habis kemudian dia membuangnya. Dia mendekati jasad Richard yang sudah tidak berdaya, marah masih meledak dalam dirinya.
"Kau membohongiku ! Saat sore itu aku mengajakmu pergi, kau berkata ada acara dengan saudaramu namun kamu menjemput kekasihku. Sebenarnya apa maumu !"
Albert merasa dibodohi sahabatnya sendiri. Dia merasa dikhianati sahabatnya, perih itu menjalar disetiap nadinya.
"Dan aku mengikutimu, kalian bercanda seperti kalian sedang kasmaran, dan kau ! Kau menggandeng tangannya. Kau tidak menghargai aku sebagai sahabatmu !"
Dia menendang jasad sahabatnya, jasad itu seketika jatuh tak berdaya. Terlentang dan terlihat dua lubang pada kepala dan dadanya dengan darah yang sudah menghitam.
"Aku marah padamu, sengaja aku menunggumu dekat rumah kekasihku. Aku ingin membunuhmu, aku ingin kau merasakan apa yang aku rasakan. Aku merasa mati."
Albert meneteskan air matanya, bukan karena menyesal dia telah membunuh sahabatnya, melainkan dia sudah tidak mampu menahan rasa sakitnya. Sakit oleh pengkhianatan.
"Sekarang sahabatku, kau sudah menjadi bangkai aku juga menjadi mayat hidup. Aku mati."
Albert hanya duduk lemas, menangis dan kecewa oleh kelakuan sahabatnya. Hatinya hancur dikhianati kekasih sekaligus sahabatnya sendiri. Akan ada memar yang takkan pernah terobati dihatinya.
Di pagi hari dia pulang, membawa mobil sahabatnya yang telah dia bunuh. Mayat itu hanya ditinggal begitu saja, entah siapa yang akan menemukannya. Mungkin manusia, atau mungkin akan didahului anjing liar yang lapar.
Ditengah perjalanan ponsel Albert berdering. Dilayar ponsel itu tertulis "Mona" dengan foto kekasihnya yang tersenyum cantik.
"Sayang, selamat ulang tahun. Aku melihat mobil...."
"Sundal ! Asu !"
Albert memotong pembicaraan dengan kekasihnya. Sakit itu masih hidup didirinya.
Sesampainya dirumah, dia memarkirkan mobil Richard diparkiran rumahnya. Dia mengambil pistolnya dan menyelipkannya dibagian belakang celananya kemudian ditutupi bajunya.
"Aden baru pulang ? Dari mana den, itu kok bajunya ada darahnya ?"
"Ah iya bi, semalem nolong orang kecelakaan, abis jadi saksi baru bisa pulang."
Pembantunya khawatir sebab muka Albert nampak pucat dengan bajunya yang berdarah.
"Den kemarin Non Mona kesini sama Den Richard mengantarkan kado, sudah saya taruh dikamar Aden. Selamat ulang tahun ya den."
Albert tidak menjawab dan hanya berjalan menuju kamarnya.
Dia melihat sebuah kotak yang dibungkus dengan kertas kado berwarna merah yang dihiasi "love" mengelilinginya. Dia berlalu melewati kado itu menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya.
"Sekarang aku adalah mayat hidup, aku bukan lagi orang yang pernah membunuh sahabat yang mengkhianatiku." Ucapnya didepan sebuah cermin sembari membasuh mukanya.
Dia keluar dari kamar mandi dan menatap kotak itu lagi. "Apa yang dia berikan padaku ? Dia ingin mengelabuiku dengan ini." pikirnya.
Dia membuka kotak itu, terlihat mika yang membungkus miniatur Gundam Platina dan sebuah kertas berenda dan berwarna merah muda. Itu adalah kartu ucapan yang ditulis kekasihnya.
****
"Sayangku, selamat ulang tahun. Jika kamu membukanya malam hari kado ini terlalu cepat untuk disebut kado ulang tahun. Ini kado untukmu, aku tahu kamu suka ini dari sahabatmu, Richard. Dia banyak membantuku untuk memilihkan hadiah yang tepat untukmu dan mengantarku untuk mencari hadiah itu untukmu. Kamu beruntung memiliki sahabat yang selalu mengerti kamu luar dan dalam, aku juga beruntung dia ada karena dia aku memiliki orang yang selalu ada untukku, alasan dari setiap senyumku dan sesuatu yang mengalir dalam nadiku. Sayangku, sekali lagi selamat ulang tahun. Semoga kamu tambah dewasa, dan  selalu mencintaiku. Aku tidak berharap banyak darimu, sebab aku sudah merasa dilengkapkan olehmu. Aku mencintaimu."
****
Air matanya menetes setelah membaca surat itu, sekarang dendam berubah menjadi sesal. Seorang sahabat yang begitu baik terhadapnya telah mati tertembak pelurunya sendiri. Dia kemudian ingat sahabatnya yang penuh canda itu, setiap cekikiknya dan setiap waktu yang habis bersamanya. Dalam hati dia mengutuki dirinya sendiri, dia menyesali segala perbuatannya. Dia berharap dapat membalikkan waktu namun sia sia, waktu bergitu kaku, hanya maju dan selalu begitu. Dia juga menyesal, mengatai kekasihnya sundal. Kekasih yang benar benar mencintainya yang juga dia buat luka dihatinya.
Albert terhuyung berdiri menuju kamar mandi, menyeret sesal dalam diri. Pistol yang membunuh sahabatnya dia taruh di sudut wastafel. Dia ambil kembali pistol tersebut dan menaruh ujung pistol itu pada pelipis kirinya.
"Sahabatku, maafkan aku mengantarkanmu ke surga terlalu cepat, sekarang biarkan aku mengantarkan diriku sendiri ke neraka. Aku ini iblis, dan kamu malaikat. Maafkan aku sahabatku, aku menyesal atas apa yang aku lalukan terhadapmu."
Albert menarik pelatuk pistolnya, sesaat kemudian peluru itu melesat menembus kepalanya. Dia tewas dengan membawa penyesalan dalam dirinya. Penyesalan yang mungkin masih dia bawa sekalipun roh sudah meninggalkan dirinya.

Tuesday 9 September 2014

Kita Menelan Sepi

Mulutmu begitu indah dengan batang rokok yang kau selipkan diantara kedua jemarimu.
Mungkin pahit dunia tak sebanding dengan serakan alkohol dimeja kita menelan sepi.
Kamu tak peduli sekalipun sebagian orang menganggap kita kotor.
Kamu tak peduli karma sebab nasib telah menyeretmu didalamnya.
Malam tak pernah kau lewati dengan sepi, sebab hingar menemanimu hingga pagi.
Lampu menyorot kita sesekali dengan sadar yang hanya seujung kuku ini.
Kita akan kelantai dansa, untuk sedikit bergerak menikmati musik dan menumpahkan palsu kita seharian kepada dunia.
Dini hari selalu seperti ini, kau dan aku yang selalu ingin menelan sepi.

Friday 5 September 2014

Perempuan yang Datang Bersama Hujan

Sepi kian memburu, langkah langkah kecil menuju lelap terhalang oleh bayang. Bulan sedang mengintipku diluar jendela yang sengaja aku buka, semilir dari angin masuk melalui celah celah. Pada pukul sekian tidak ada kepedulian pada tubuh sendiri.
Terkadang aku benci teknologi, memburu seenaknya saja tak kenal waktu. Entah pekerjaan atau lalu lalang jalang yang membunyikannya.
Bulan berada tepat didepan mata saat aku melangkah keluar dari pintu kamarku. Indah,setengah dan resah. Ya resah. Resah yang meracuniku sedari tadi, hingga aku mengutuki ponselku sendiri. Entahlah pikiranku kacau oleh sesuatu.
...........

Kopi tak pernah semanis ini, saat hujan turun dan kau datang untuk pertama kalinya, kuyup dan asing. Aku ingin bertanya "kamu datang bersama hujan, apa kamu juga jatuh dari langit ?" Tapi tidak, aku hanya menatapnya, dengan debar yang tak biasa.
Warung itu cukup sepi, aku didalam sementara dia masih didepan mencoba mengeringkan diri. Bajunya basah, bibirnya pucat seperti dingin sudah menjalar pada tubuhnya.
"Mas, bikinin teh panas satu dong." Celetukku begitu saja, lalu aku mengantarkan minuman itu untuknya.
"Maaf mbak, ini ada teh panas."
"Enggak mas makasih"
"Kenapa mbak ? Saya ngga niat jahat ke embak kok, saya cuma mau ngasih ini."
"Enggak mas, makasih."
"Kalo ngga mau diminum ngga papa, genggam saja, jarimu sudah pucat mungkin karena dingin." Aku memperhatikannya dan menaruh teh itu dimeja dekat dia berdiri.
"Duh mas kok jadi ngerepotin sih."
"Enggak mbak, ngga papa."
"Makasih ya mas."
"Iya mbak sama sama."
Hujan tak pernah berharmoni, degup jantungku seolah jadi metronom dan hujan membuat ketukan bernada. Kau, perempuan yang datang bersama hujan hebatmulah yang membuat irama dari ramai dentuman hujan. Kita berbincang dan saling berkenalan satu sama lain, namamu Citra, dan kamu suka senja dan belajar membenci hujan.
"Sepertinya reda Cit, udah bisa pulang nih."
"Yup, bisa pulang terus ganti baju. Basah semua."
"Dingin, rumahmu cukup jauh. Mau pakai jaketku ?"
"Ah enggak usah, makasih udah dibeliin teh sama ditemenin ngobrol sampai setengah dari celana panjangmu ikut basah."
"Ngga papa, rumahku deket kok dari sini. Toh nanti juga jaketnya dikembaliin hahahaha"
"Beneran nih ngga papa ?"
"Udahlah gapapa pake aja.... eh tapi balikin ya" gurauku.
Kami bertukar nomor ponsel dan kemudian pulang ke rumah . Aku pikir ini petang, namun aku rasa aku melihat pelangi.

Terkadang cinta yang luar biasa berawal dari pertemuan yang biasa biasa saja.

Setelah kejadian itu kami jadi sering saling mengirim pesan teks, berbicara kesana kemari, bercanda dan merencanakan pertemuan kami kembali. Dengan alasan jaketku yang dibawanya waktu itu aku memiliki alasan untuk menemuinya , ya aku akan bertemu dengannya lagi. Hari minggu, jam 7 malam di sebuah coffeshop.

"Hai, sudah lama ?"
"Ah enggak kok aku barusan juga duduk."
Kamu datang dengan rambut panjang yang tertata rapi, dress pendek berwarna biru laut dan aroma segar seperti mawar.
"Ini jaketmu, sekali lagi terima kasih untuk waktu itu."
"Ah udahlah, kebetulan juga"
Kini kami tidak berbincang tentang hujan, basah, dan segala kejadian tentang waktu itu. Kita lebih saling berbicara tentang satu sama lain dan hebatnya aku berani bertanya tentang statusmu. Dan ternyata kamu belum memiliki kekasih dan aku bersyukur atas hal itu.
"Kita bisa bertemu lagi kan ? Untuk menikmati secangkir latte lagi ?"
"Tentu saja, apa yang tidak." Katamu sambil tersenyum, senyum yang semakin menenggelamkanku pada dirinya. Entahlah, aku merasa sesak, ada sesuatu yang akan meledak dibalik rusuk, bahagia yang bercampur cinta. Aku tahu aku jatuh cinta, aku melihat segala menjadi indah. Setiap detiknya aku mengukir senyum dan otakku semakin giat untuk menggambarkan dirimu. Aku jatuh cinta kepadamu disetiap kali aku memikirkanmu.
...........

Hari berganti, waktu berlalu begitu cepat dan kita masih dua sejoli yang sedang jatuh cinta. Hari yang selalu saja diisi dengan canda, tawa dan cinta. Kita bersama dan kita bahagia.
Angin yang bertiup dari timur cukup kencang , sebentar lagi musim panas. Beberapa daun sudah nampak menggugurkan daunnya dijalan kecil yang kita lewati. Jalan itu menjadi cantik sebab tidak hanya hitam namun juga ada kecoklatan dan kuning tua. Kau mengambil beberapa gambar dan sesekali kau pamerkan padaku. Aku, memperhatikanmu dan sepertinya kau bahagia bersamaku. Aku terlalu bahagia mendapatimu.
"Eeeehh, Cit ?"
"Ya ?"
"Aku..."
"Laper ? Aku juga udah laper nih."
"Yaudah, kita cari makan. Mau makan apa ?"
"Lasagna ! Aku mau lasagna"
Aku ingin mengungkap perasaanku diantara daun daun yang sedang gugur yang mungkin masih menjadi pucuk saat kita pertama bertemu. Kau menikmati lasagnamu aku memendam perasaanku.

Setelah itu, waktu banyak berlalu dan aku tak pernah lagi menyerukan isi hatiku. Jika ada orang bilang bahwa ini takdir Tuhan untuk tidak bersamamu aku menyangkalnya, aku tak meneruskan kata kataku waktu itu. Ini salahku, ini bodohku. Aku yang munafik pada perasaanku sendiri yang sudah hampir meledak. Ini salahku yang kini membiarkan ia pergi, perempuan yang datang bersama hujan yang sekarang menghilang. Mungkin dia menguap karena kemarau panjang dan tak ada hujan. Dia yang datang bersama hujan, yang tiba tiba hilang saat kemarau panjang.