Wednesday 26 August 2015

Sheryl : Pertemuan

              Lantai duabelas, tempat saat ini aku berdiri dan menatap keluar. Mungkin kota ini adalah kota para raksasa, dimana buta kala sedang bersembunyi dibalik gedung gedung tinggi. Kendaraan lalu lalang tampak seperti segerombolan semut yang berbaris keluar dari sarang mereka mencari makanan. Jakarta  memang perkotaan yang sangat maju, bahkan mungkin kau tak mampu menghitung kendaraan yang melintas. Metropolitan mungkin memang nama yang tepat untuk kota ini.
                “Sat, lu besok ke Jogja ya buat ngurusin tender yang didapet kemarin. Tiket udah gue email.”
                “Dadakan banget sih ? Terus kerjaan gue ?”
                “Pak Anto ngomong gitu, gue nerusin doang.”
                Kutarik napas panjang, sebelum aku kembali menuju mejaku untuk melihat email dan mencetak tiket pesawat perjalananku besok. Semuanya telah dipersiapkan oleh kantor dari mulai tiket, tempat tinggalku sementara di Jogja dan yang lainnya. Aku di Jogja mungkin sekitar satu atau dua minggu kedepan. Jogja adalah kota untuk berlibur, bukan bekerja.
***
                Pukul  empat sore, langit sudah menguning diluar sana dan aku sedang membereskan mejaku bersiap untuk pulang. Sore ini aku ada janji untuk bertemu sahabatku di salah satu coffe shop tak jauh dari kantor. Dia sahabat SMA-ku, namanya Edgar. Kebetulan dia sedang mengambil cuti dan mengunjungi saudaranya yang ada di Jogja.
“Hai Gar, apa kabar ? Sudah lama menungguku ?”
“Seharusnya kau tak pernah terlambat Sher.” Jawabnya sambil tersenyum kearahku.
                Edgar sepertinya sudah menghabiskan setengah dari secangkir kopi pesanannya. Aku meminta maaf atas keterlambatanku. Dia sedikit menggerutu, memang begitulah kebiasaannya dari SMA. Dia adalah sahabat dari seseorang yang pernah terpisah dariku. Seseorang yang cukup berarti di hidupku, lalu bagaimana kabarnya sekarang ? Satria.
***
                Tentang pertemuan, disinilah awal dari semuanya. Tempat beberapa orang menginjakkan kakinya ditanah kelahiran mereka. Ada peluk yang menunggu mereka di lobby bandara, ada rindu yang siap dihamburkan didalam peluknya. Tentang pertemuan dengan seseorang, mungkin adalah hal yang menyenangkan. Aku tidak begitu mengenal hangatnya rindu yang membuncah didalam peluk dan kecup basah.
                Kutengok jam tanganku yang melingkar di lengan kanan, pukul tiga sore sebentar lagi waktu keberangkatanku. Aku berdiri dari kursi tempatku menikmati secangkir kopi menuju loket check-in untuk melakukan boarding. Aku akan segera menapaki langit, menuju kota tempat seseorang yang mungkin sekarang dia tinggal disana. Kuharap ketidak sengajaan menemukan kita, Sheryl.
***
                Setelah pertemuanku dengan Edgar aku jadi tahu, sekarang Satria bekerja di salah satu kontraktor ternama di ibukota. Kata Edgar, jangan pernah menanyakan keadaan Satria karena mungkin dia sudah mapan untuk kehidupannya jadi aku tak perlu khawatir tentang dia. Tapi aku merindukannya, sebagaimanapun aku tidak perlu khawatir tentang dia, aku merindukannya. Enam tahun sudah berlalu setelah hari terakhir kita bertemu. Sebab mataku tak bisa lepas dari album foto yang kita cetak dua, satu untukku dan satu untuknya.
                Enam tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu sebuah pertemuan. Sebab penantian bukan perkara kesetiaan, akan tetapi kepastian. Adakah dia pernah memikirkanku ? Kini aku takut, aku pernah membuka hatiku dan memasukkan orang lain untuk menggantikannya. Aku tak dapat menyangkal disetiap debarku hanyalah dia, namun sepi sering menggiringku untuk menggantikannya. Namun usahaku sia sia, aku hanya mencintainya yang katanya dia selalu baik baik saja. (dan mungkin harinya sudah diisi yang lain.)
***
                Kata orang Jogja itu terbentuk dari rindu, kenangan dan kembali. Kalian yang pernah singgah di Jogja mungkin akan merasa ingin selalu kembali ketempat ini. Orang orang yang ramah dengan budaya keraton yang masih sangat kental mewarnai setiap sudut kota. Aku di Jogja, langit sudah gelap di Bandara Adi Sucipto. Beberapa supir taxi menawarkan diri untuk mengantar kita ke tujuan. Aku menunggu supir yang katanya sedang perjalanan menuju ke tempat tinggalku sementara di Jogja.
                 Tak lama supir yang menjemputku pun datang, senyumnya ramah dan sederhana. Dia menghampiriku sambil mengajukan tangannya.
                “Pak Satria ya ? Saya Anwar, saya yang akan mengantar jemput bapak selama di Jogja”
                “Untuk pertama, Mas. Jangan panggil saya bapak. Saya belum menikah.”
                “Ng—Ngapunten Mas, maksud saya maaf Mas. Mas mau langsung istirahat atau mau cari makan dulu?” Katanya sedikit kaku.
                “Santai aja mas sama saya, hehe. Mas Anwar sudah makan ? Kalau belum kita cari makan.” Kataku mengakrabkan diri dan dia pun tersenyum kemudian menuntun ke arah mobil kami.
                Di dalam mobil, aku teringat Sheryl.  Bukannya dia juga tinggal disini ? Aku ambil handphone ku dari saku, mencari nomor Edgar satu satunya orang yang mengenal Sheryl di kontak handphoneku. Kutekan dial akan tetapi nomor Edgar ternyata sudah tidak aktif. Aku sangat jarang berkomunikasi dengan Edgar, terakhir aku menanyakan kabarnya mungkin sekitar enam atau tujuh bulan yang lalu. Aku mendesah.
                “Kenapa mas ?” Tanya Anwar dibalik kemudi.
                “Nomor teman saya nggak aktif mas.”
                Aku menatap keluar, mobil itu melewati beberapa ruko yang sedang ramai ramainya. Ada beberapa coffe shop yang kami lewati, dari yang bertemakan outdoor hingga yang terlihat seperti kafe kafe modern. Setelah makan kita melanjutkan perjalanan menuju tempat tinggal sementaraku di sini. Aku sudah cukup lelah setelah perjalanan panjangku hari ini, sepertinya aku butuh istirahat.
                Rumah yang kutinggali sederhana, gerbang masuk beratapkan kanopi sebagai tempat parkir mobil dan perkarangan kecil didepannya. Di dalam hanya ada sebuah ruang tamu lengkap dengan tv dan dua kamar serta satu kamar mandi dan dapur kecil di belakang rumah. Walaupun kecil, rumah itu tertata dengan baik dan bersih.
                “Mas Satria kalo ada apa apa saya di kamar sebelah.”
                “Ini sudah malam, mas istirahat saja atau kalau mas mau pacaran juga boleh mas.” Candaku.
***
                Sabtu malam seharusnya tak pernah semembosankan ini, aku sudah membeli buku baru untuk kubaca. Tapi entahlah minatku untuk membaca hilang. Kuputuskan untuk menghubungi sahabatku, namun aku mengurungkannya. Aku sedang malas menjadi obat nyamuk, pasti dia sedang dengan pacar barunya.
                Akhirnya tanpa pikir panjang aku pergi ke coffe shop di daerah Gejayan, membawa buku yang baru aku beli. Minum kopi sembari membaca buku sepertinya menyenangkan. Coffe shop yang aku pilih adalah tempat yang tak terlalu ramai sebab tempat ini bukan tempat favorit anak muda menghabiskan waktunya. Tapi ini malam minggu, pasti lebih ramai dari hari biasanya.
***
                Sewaktu jalan pulang dari sebuah pertemuan dengan klien, aku menyadari bahwa tak jauh dari rumah dinasku ada sebuah kedai kopi kecil, tempatnya terlihat cukup menyenangkan dari luar. Di dalam kedai kopi itu didominasi oleh warna pastel yang hangat dan tataan kursi kayu dengan sandarannya. Setelah membersihkan diri aku berjalan menuju kedai kopi itu membawa laptop agar tak terlalu membosankan saat aku menghabiskan waktu sendirian.
                Aku memilih tempat duduk di area smooking room yang terletak didekat pintu masuk. Rasa caffelatte dari kedai kopi ini tak mengecewakan dengan harganya yang relative lebih murah. Kubuka laptopku untuk menikmati waktu luang sembari menyesapi cafelatte yang halus.
                Aku bersandar, menikmati suasana tempat itu sesekali. Beberapa orang sedang bercengkrama berbagi cerita dan diluar tampak kendaraan sedang berlalu lalang melintasi jalanan. Mataku terhenti saat melihat sesosok wanita yang sedang memarkirkan motor matic-nya. Dia mengenakan pakaian santai, kaos hitam dan cardigan coklat. Rambutnya yang panjang dan matanya yang berbinar, seolah aku mengenalnya. Aku memperhatikannya yang sedang mengecek notifikasi handphone-nya diatas motor.
                Dia beranjak dari motornya menuju pintu masuk yang terbuat dari kaca dan dibingkai dengan kayu jati. Dia membuka pintunya. Mata kita bertemu. Aku tak percaya melihat siapa yang aku temui dan kulihat dia memunculkan ekspresi yang sama. Kupanggil namanya.
                “Sher ?” kataku penuh tanya.
                Dia menghampiriku, memastikan siapa yang memanggilnya.
                “Aku hubungi Edgar tapi nomor handphonenya sudah nggak aktif.” Kataku lagi. Matanya berkaca.
                Dia tanpa kata, kepalaku penuh tanya. Dia tersenyum dengan matanya yang berkaca kaca memelukku yang masih duduk di kursi kayu.
                “Aku kangen kamu, syukur kamu baik baik saja. Sat.” Katanya didalam pelukan.

                 

No comments:

Post a Comment