Lantai
duabelas, tempat saat ini aku berdiri dan menatap keluar. Mungkin kota ini
adalah kota para raksasa, dimana buta kala sedang bersembunyi dibalik gedung
gedung tinggi. Kendaraan lalu lalang tampak seperti segerombolan semut yang
berbaris keluar dari sarang mereka mencari makanan. Jakarta memang perkotaan yang sangat maju, bahkan
mungkin kau tak mampu menghitung kendaraan yang melintas. Metropolitan mungkin
memang nama yang tepat untuk kota ini.
“Sat,
lu besok ke Jogja ya buat ngurusin tender yang didapet kemarin. Tiket udah gue
email.”
“Dadakan
banget sih ? Terus kerjaan gue ?”
“Pak
Anto ngomong gitu, gue nerusin doang.”
Kutarik
napas panjang, sebelum aku kembali menuju mejaku untuk melihat email dan
mencetak tiket pesawat perjalananku besok. Semuanya telah dipersiapkan oleh
kantor dari mulai tiket, tempat tinggalku sementara di Jogja dan yang lainnya.
Aku di Jogja mungkin sekitar satu atau dua minggu kedepan. Jogja adalah kota
untuk berlibur, bukan bekerja.
***
Pukul empat sore, langit sudah menguning diluar
sana dan aku sedang membereskan mejaku bersiap untuk pulang. Sore ini aku ada
janji untuk bertemu sahabatku di salah satu coffe shop tak jauh dari kantor. Dia
sahabat SMA-ku, namanya Edgar. Kebetulan dia sedang mengambil cuti dan mengunjungi
saudaranya yang ada di Jogja.
“Hai Gar, apa kabar ? Sudah lama
menungguku ?”
“Seharusnya kau tak pernah terlambat Sher.” Jawabnya sambil tersenyum kearahku.
“Seharusnya kau tak pernah terlambat Sher.” Jawabnya sambil tersenyum kearahku.
Edgar
sepertinya sudah menghabiskan setengah dari secangkir kopi pesanannya. Aku
meminta maaf atas keterlambatanku. Dia sedikit menggerutu, memang begitulah
kebiasaannya dari SMA. Dia adalah sahabat dari seseorang yang pernah terpisah
dariku. Seseorang yang cukup berarti di hidupku, lalu bagaimana kabarnya
sekarang ? Satria.
***
Tentang
pertemuan, disinilah awal dari semuanya. Tempat beberapa orang menginjakkan
kakinya ditanah kelahiran mereka. Ada peluk yang menunggu mereka di lobby
bandara, ada rindu yang siap dihamburkan didalam peluknya. Tentang pertemuan
dengan seseorang, mungkin adalah hal yang menyenangkan. Aku tidak begitu
mengenal hangatnya rindu yang membuncah didalam peluk dan kecup basah.
Kutengok
jam tanganku yang melingkar di lengan kanan, pukul tiga sore sebentar lagi
waktu keberangkatanku. Aku berdiri dari kursi tempatku menikmati secangkir kopi
menuju loket check-in untuk melakukan
boarding. Aku akan segera menapaki
langit, menuju kota tempat seseorang yang mungkin sekarang dia tinggal disana.
Kuharap ketidak sengajaan menemukan kita, Sheryl.
***
Setelah
pertemuanku dengan Edgar aku jadi tahu, sekarang Satria bekerja di salah satu
kontraktor ternama di ibukota. Kata Edgar, jangan pernah menanyakan keadaan
Satria karena mungkin dia sudah mapan untuk kehidupannya jadi aku tak perlu
khawatir tentang dia. Tapi aku merindukannya, sebagaimanapun aku tidak perlu
khawatir tentang dia, aku merindukannya. Enam tahun sudah berlalu setelah hari
terakhir kita bertemu. Sebab mataku tak bisa lepas dari album foto yang kita cetak
dua, satu untukku dan satu untuknya.
Enam
tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu sebuah pertemuan. Sebab penantian
bukan perkara kesetiaan, akan tetapi kepastian. Adakah dia pernah memikirkanku
? Kini aku takut, aku pernah membuka hatiku dan memasukkan orang lain untuk
menggantikannya. Aku tak dapat menyangkal disetiap debarku hanyalah dia, namun
sepi sering menggiringku untuk menggantikannya. Namun usahaku sia sia, aku
hanya mencintainya yang katanya dia selalu baik baik saja. (dan mungkin harinya
sudah diisi yang lain.)
***
Kata
orang Jogja itu terbentuk dari rindu, kenangan dan kembali. Kalian yang pernah
singgah di Jogja mungkin akan merasa ingin selalu kembali ketempat ini. Orang
orang yang ramah dengan budaya keraton yang masih sangat kental mewarnai setiap
sudut kota. Aku di Jogja, langit sudah gelap di Bandara Adi Sucipto. Beberapa
supir taxi menawarkan diri untuk mengantar kita ke tujuan. Aku menunggu supir
yang katanya sedang perjalanan menuju ke tempat tinggalku sementara di Jogja.
Tak lama supir yang menjemputku pun datang,
senyumnya ramah dan sederhana. Dia menghampiriku sambil mengajukan tangannya.
“Pak
Satria ya ? Saya Anwar, saya yang akan mengantar jemput bapak selama di Jogja”
“Untuk
pertama, Mas. Jangan panggil saya bapak. Saya belum menikah.”
“Ng—Ngapunten
Mas, maksud saya maaf Mas. Mas mau langsung istirahat atau mau cari makan
dulu?” Katanya sedikit kaku.
“Santai
aja mas sama saya, hehe. Mas Anwar sudah makan ? Kalau belum kita cari makan.”
Kataku mengakrabkan diri dan dia pun tersenyum kemudian menuntun ke arah mobil
kami.
Di
dalam mobil, aku teringat Sheryl.
Bukannya dia juga tinggal disini ? Aku ambil handphone ku dari saku,
mencari nomor Edgar satu satunya orang yang mengenal Sheryl di kontak
handphoneku. Kutekan dial akan tetapi nomor Edgar ternyata sudah tidak aktif.
Aku sangat jarang berkomunikasi dengan Edgar, terakhir aku menanyakan kabarnya
mungkin sekitar enam atau tujuh bulan yang lalu. Aku mendesah.
“Kenapa
mas ?” Tanya Anwar dibalik kemudi.
“Nomor
teman saya nggak aktif mas.”
Aku
menatap keluar, mobil itu melewati beberapa ruko yang sedang ramai ramainya.
Ada beberapa coffe shop yang kami lewati, dari yang bertemakan outdoor hingga
yang terlihat seperti kafe kafe modern. Setelah makan kita melanjutkan
perjalanan menuju tempat tinggal sementaraku di sini. Aku sudah cukup lelah
setelah perjalanan panjangku hari ini, sepertinya aku butuh istirahat.
Rumah
yang kutinggali sederhana, gerbang masuk beratapkan kanopi sebagai tempat parkir
mobil dan perkarangan kecil didepannya. Di dalam hanya ada sebuah ruang tamu
lengkap dengan tv dan dua kamar serta satu kamar mandi dan dapur kecil di
belakang rumah. Walaupun kecil, rumah itu tertata dengan baik dan bersih.
“Mas
Satria kalo ada apa apa saya di kamar sebelah.”
“Ini
sudah malam, mas istirahat saja atau kalau mas mau pacaran juga boleh mas.”
Candaku.
***
Sabtu
malam seharusnya tak pernah semembosankan ini, aku sudah membeli buku baru
untuk kubaca. Tapi entahlah minatku untuk membaca hilang. Kuputuskan untuk
menghubungi sahabatku, namun aku mengurungkannya. Aku sedang malas menjadi obat
nyamuk, pasti dia sedang dengan pacar barunya.
Akhirnya
tanpa pikir panjang aku pergi ke coffe shop di daerah Gejayan, membawa buku
yang baru aku beli. Minum kopi sembari membaca buku sepertinya menyenangkan.
Coffe shop yang aku pilih adalah tempat yang tak terlalu ramai sebab tempat ini
bukan tempat favorit anak muda menghabiskan waktunya. Tapi ini malam minggu,
pasti lebih ramai dari hari biasanya.
***
Sewaktu
jalan pulang dari sebuah pertemuan dengan klien, aku menyadari bahwa tak jauh
dari rumah dinasku ada sebuah kedai kopi kecil, tempatnya terlihat cukup
menyenangkan dari luar. Di dalam kedai kopi itu didominasi oleh warna pastel
yang hangat dan tataan kursi kayu dengan sandarannya. Setelah membersihkan diri
aku berjalan menuju kedai kopi itu membawa laptop agar tak terlalu membosankan
saat aku menghabiskan waktu sendirian.
Aku
memilih tempat duduk di area smooking room yang terletak didekat pintu masuk.
Rasa caffelatte dari kedai kopi ini tak mengecewakan dengan harganya yang
relative lebih murah. Kubuka laptopku untuk menikmati waktu luang sembari
menyesapi cafelatte yang halus.
Aku
bersandar, menikmati suasana tempat itu sesekali. Beberapa orang sedang
bercengkrama berbagi cerita dan diluar tampak kendaraan sedang berlalu lalang
melintasi jalanan. Mataku terhenti saat melihat sesosok wanita yang sedang
memarkirkan motor matic-nya. Dia mengenakan pakaian santai, kaos hitam dan
cardigan coklat. Rambutnya yang panjang dan matanya yang berbinar, seolah aku
mengenalnya. Aku memperhatikannya yang sedang mengecek notifikasi handphone-nya
diatas motor.
Dia
beranjak dari motornya menuju pintu masuk yang terbuat dari kaca dan dibingkai
dengan kayu jati. Dia membuka pintunya. Mata kita bertemu. Aku tak percaya melihat
siapa yang aku temui dan kulihat dia memunculkan ekspresi yang sama. Kupanggil
namanya.
“Sher
?” kataku penuh tanya.
Dia
menghampiriku, memastikan siapa yang memanggilnya.
“Aku
hubungi Edgar tapi nomor handphonenya sudah nggak aktif.” Kataku lagi. Matanya
berkaca.
Dia
tanpa kata, kepalaku penuh tanya. Dia tersenyum dengan matanya yang berkaca
kaca memelukku yang masih duduk di kursi kayu.
“Aku
kangen kamu, syukur kamu baik baik saja. Sat.” Katanya didalam pelukan.
No comments:
Post a Comment