Friday 14 October 2016

Memanggilku Malam

Kini kau memanggilku malam, sebab yang kusisakan padamu hanya kelam.
Kini pagi mengintip, embun embun berjatuhan ke tanah namun tetap saja aku adalah malam.
Bagimu siang itu tak ada untukku, sebab kau menyumpahiku agar tak akan pernah sinar menyinariku.
Kini didalam malam aku membuat pesta, gemerlap menyeruak gelap. Menggantungkan pagi dibalik tirai yang akan kubuka setelah usai.
Bagimu roda akan berputar cepat dan mendoakanku tergilas kemudian sekarat.
Kini aku berdiri, menatap kesegala arah. Bersombong diri, membuat segala yang kau sumpahi salah.

Sebab aku tak bersalah, waktu menggilas kita. Bukan aku menyerah, namun semua tak lagi sama.

Katamu, aku bukan aku yang kau kenal dulu. Kataku, kau membuatku menjadi yang kau mau.

Apa yang salah, kau menyumpahiku. Meneriaki segala serapah padaku.
Lalu...
Lalu setega itu kau tinggalkan aku ?

Sebab aku benci menjadi aku yang kau mau. Aku adalah diriku. Aku adalah milikku. Aku hanya ingin menjadi aku. Aku yang dulu, yang begitu jatuh hati padamu dan kini menjadi aku yang bukan diriku.

Mungkin aku menjadi aku yang kau mau, tetapi aku juga bukan lagi aku yang jatuh cinta padamu.

Maafkan aku.

Sunday 29 May 2016

Kata Orang Kau Suka Purnama

Purnama, begitu kata orang melihat bulan melingkar sempurna. Langit cerah dan udara lebih dingin dari biasanya. Syair syair tentang rindu yang ditulis pujangga.
Purnama, katanya buta kala sedang puasa. Menunggu kala, menyiapkan tenaga. Menelan purnama. Tak ada kidung kidung yang dinyanyikan ketika gelap gulita melahap semesta.
Kata orang, kau suka purnama yang bulat sempurna. Kau bercerita tentang segala rasa padanya. Memendam segala rasa hingga purnama tiba. Berdongeng hingga pagi menjemput; malam melingsut.
Aku ini buta kala, bukan kata orang; pengakuan. Aku benci purnama, aku lapar ketika dia sempurna. Aku ingin  melahapnya.
Sebab aku tak suka purnama. Dia tuli, tak bertelinga bahkan tak berindra. Kenapa kau masih bercerita kepadanya ?
Sebab aku tak suka purnama. Dia buruk rupa. Asal kau tahu saja, ketika kau bercerita dia memalingkan muka.

Sebab aku ini buta kala, mungkin Rahwana, mungkin Mahesashura. Aku ingin melahap purnama tempatmu bercerita. Sekalipun dia lahir kembali pada hari ke lima belas, aku akan memakannya. Aku iri pada purnama. Tempatmu bercerita.

Thursday 26 May 2016

Tenunan Diam (Perayaan Jalang)

Inilah malam tempat dimana aku menenun diam. Ada bayang yang merupa kamu di antara riuh didalam kepalaku. Aku ingin lagu sendu, tak mengapa aku rasa ngilu. Lidahku kelu, ingin mengucap rindu. Aku khawatir jalang jalang malam itu menertawaiku. Mereka menari, entah ingin menghiburku atau minta disetubuhi.
Aku ini bukan pendo'a yang baik, pula kuharap aku bukan pendosa. Tapi aku adalah pengharap yang tak kenal pamrih. Pengemis dari hati yang aku mungkin pernah hidup didalamnya dan aku sia-siakan. Seseorang yang dulu selalu mencandu kini kurindu. Aku dungu dan ceroboh, hubungan yang seharusnya sekarang berdiri kokoh kini telah rata dengan kecewa yang tumbuh diatasnya.
Suaraku melirih diantara dunia yang mencoba membuatku bahagia. Aku tak ingin mereka, aku tak ingin berbahagia bersama mereka. Jalang jalang dan seorang pria hidung belang yang sayangnya adalah karib ku.
Aku keluar dari ruang yang hingar mencari sadar yang saat ini hanya serupa pendar. Disaat merindumu aku candu pada sloki sloki kristal, memohon pada langit agar kamu memaafkanku yang ceroboh namun aku tahu itu sia sia. Kau sudah bahagia, bersama dia yang begitu cekatan memperhatikan pada setiap detil detil yang kau sukai.
Tiga hari yang lalu, larut malam seperti malam ini aku pulang dan menemukan selembar undangan pernikahan. Amplop maroon dengan hiasan pita emas dan tulisan latin namamu dan dia dengan warna yang sama. Kala itu, aku merasakan sekali lagi bahwa segalanya bisa terjadi. Perasaanku ditelanjangi, sama seperti malam ini.
Langkahku tak lagi tegap, minuman sialan pikirku. Tapi sudahlah, paling tidak ini membuatku sedikit merasakan sakitnya kehilangan.
"Maaf" bukan sesuatu yang tepat saat ini. Sebab sekalipun aku memohon kau tak akan kembali. Merelakanmu bahagia mungkin memang satu satunya alasan untuk aku dapat bertahan. Sekalipun ada detak yang tak dapat kutahan. Aku akan datang di sebuah acara pernikahan.
Mungkin aku akan mengucapkan selamat kemudian pergi. Mungkin aku akan bertemu ayah ibumu, menjabat tangannya sekali lagi dan pura pura tersenyum dan merasakan bahagia. Mungkin aku takkan sempat mengicipi kudapan yang kalian sajikan, sebab aku telah kenyang oleh ribuan penyesalan yang kutelan dalam satu suapan.

Mungkin, setelahnya aku menjadi yang baru. Yang tak lagi ceroboh dan menghargai yang kumiliki. Tetapi mungkin, aku akan menjadi aku bersama jalang jalang malam merayakan hilang dari perasaan yang dulu aku sia siakan.