Saturday 28 February 2015

Didalam Mimpiku

Didalam mimpiku, ada kamu berdiri di rerumputan sebelum pantai dengan pasir putih yang silau.
Nyiur angin meniupi rambutmu, membuatnya menari bersama udara.
Ombak bergulung dikejauhan, tepi pantai hanya ada ketenangan. Namun suara suara dari kejauhan itu selalu membuatmu candu. Suara ombak yang bergulung.
Didalam mimpiku, ada kamu yang mengenakan gaun biru panjang sewarna dengan warna laut yang tosqua ditepi dan biru ditengah.
Langit bersih, cuaca cerah dan mentari tersenyum bersamamu.
Sebab hari masih muda, didalam mimpiku aku tak berjumpa senja.
Didalam mimpiku, aku ini tak berupa, tak memiliki tangan pula badan yang berwujud. Dalam mimpiku sendiri aku hanya seperti hantu yang memandangimu ditepian pantai tak bernama pula bertuan.
Didalam mimpiku, kau seolah menengok dan melempar tatap kearahku.
Aku yang tak berwujud, aku yang tak bisa kemanapun seolah aku hanya terpaku menatapimu.
Didalam mimpiku, kau tersenyum menghampiriku berlari kecil dan bertelanjang kaki.
Kau mengulurkan tanganmu, aku juga mengulurkan tanganku.
Tetapi aku tak berwujud, bertangan pula berbadan.
Didalam mimpiku, dikedekatan ternyata kau meraih sebuah boneka yang ada didiriku.
Teddy bear itu hanya setinggi lengan, dengan rompi berwarna biru.
Dalam mimpiku, kau tersenyum menatapi boneka itu, kemudian kau menari nari bersamanya.
Bersama angin yang bertiup diiringi irama ombak dari kejauhan.
Kau bahagia, mungkin pula boneka itu.
Sebab boneka itu tak berekspresi, ia hanya menari bersamamu.
Didalam mimpiku, kau dihampiri seorang laki laki.
Dengan kemeja dan celana putih, seperti pangeran yang merusak mimpi seseorang.
Kau jatuhkan boneka itu, kemudian kau berlari menghampirinya, memeluknya dan tak segan kau mengecupi bibirnya didepan mataku.
Aku dapat melihat namun aku tak berwujud.
Didalam sadarku, aku berpikir mungkin aku dan boneka itu satu.
Sesuatu yang kau hampiri dan kau pungut, kemudian tak segan kau meninggalkannya.
Didalam sadarku, aku sadar aku bukan siapa siapa kecuali boneka yang ditinggalkan gadis ditepian pantai.

Aku Mencintaimu

Apa kamu sudah membaca suratku kemarin ? Yang aku tulis dengan sendu, hari demi hari aku menuliskannya. Memilih kata demi kata, agar kau tak tersinggung. Agar kau tahu betapa ketidak berdayaanku yang tanpa kamu. Kali ini aku akan mengungkapkan perasaanku kepadamu, sekalipun mungkin kemarin kau sudah tahu betapa aku jatuh cinta kepadamu. Tetapi hari ini aku akan mengungkapkan segalanya kepadamu. Ketika aku sadar bahwa aku jatuh cinta kepadamu. (Sampai hari ini aku tidak tahu kenapa hatiku memilihmu dan bagaimana bisa debarku membunyikan namamu.) Aku merasakan banyak rasa, aku bahagia, sekaligus kecewa. Sebab aku jatuh cinta kepadamu. Jatuh cinta itu indah, namun mungkin juga canggung. Canggung yang membunyikan perasaan, canggung untuk mengakui cinta. Aku. Padamu. Ah, aku seperti melupakan rindu kepadamu malam ini. Malam ini aku seperti sedang jatuh cinta lagi. Kepadamu. Sekalipun kini kau sudah tak pernah hadir dalam kehidupanku dikarenakan aku yang lamban merasakan benih benih yang kini tumbuh serupa pohon yang tanpa daun. Pohon rasa yang tak lengkap, yang mengakar, menancap dan terus menerus tumbuh. Aku akan katakan cinta kepadamu. Ya, aku mencintaimu. Sekalipun ini terlambat, sekalipun mungkin ucapku sudah tak akan menggema dihatimu. Berbahagialah dengan dia yang mencintaimu, yang tak selamban aku merasakan cinta yang tumbuh. Berbahagialah, meski bahagiamu bukan bersamaku.

Friday 13 February 2015

Dialog Cermin

"Bisa tolong katakan, aku ini pria seperti apa ?" Cermin mengacuhkanku saat aku bertanya. Bayanganku tak begitu nampak didalamnya. Ruangan ini tak cukup terang baginya untuk menampakkan diriku yang lain. Diriku yang didalam cermin, yang tak lelaki maupun perempuan. Yang tak peduli dia siapa. Yang tak bahagia maupun berlinang airmata.
Sebab diriku yang lain terpatri didalam cermin, yang sesekali kupandangi matanya yang kosong, yang sesekali aku memujinya tampan. Yang sesekali menelanjangi aku yang naif diluar cermin. Dia nampak dingin, pupil matanya melebar mencari sedikit cahaya agar matanya mampu menatapku jelas dengan kekosongan. Bibir yang tak mengembang ataupun menguncup. Yang tak tersenyum maupun bermuram durja.
"Katakan siapa aku ?" Aku sekali lagi bertanya padanya. Dia yang didalam cermin. Aku yang terperangkap pada dimensi lain. Dia masih diam, menatapku tajam. Aku tak menemukan jawaban, sebab dia masih diam. Apa dia bisu ? Apa dia tak mengenal aksara ? Bukankah dia adalah aku yang lain ? Apa mungkin karena dia masih terperangkap didalam cermin ?
"Kumohon, aku tak tahu siapa aku. Jika kau tahu, beri tahu aku." Aku menunjuk diriku, dia menunjuk dirinya secara bersamaan.
"Aku ?" Kembali kutunjuk diriku dan dia menunjuk dirinya. Dia tersenyum, dan aku mulai mengerti.
Aku adalah aku, aku bukan siapa siapa. Sebab aku hanyalah diriku, yang tidak ditambah pula disusut. Aku adalah aku, yang kosong, yang tak bertuan dan tak memiliki hamba. Aku adalah tuan bagiku dan hamba bagi diriku sendiri. Aku hanya aku, aku bukan orang lain bagi diriku. Sekalipun penilaian menganggapku berubah, aku tetaplah aku.
Kembali aku menengok kearah cermin, bayangan itu kembali menjadi bayangan. Cermin itu kembali menjadi pantulan. Aku yang lain sudah bersembunyi didunianya kembali. Mungkin dia menertawaiku yang naif dengan diriku sendiri sekarang.

Tuesday 10 February 2015

Bahagia

Hai, malam. Ah ini terlaru larut untuk menulis sepucuk surat. Dengar, jangkrik sudah bernyanyi riang. Mereka seperti berpesta didasar rerumputan, menari dan berdendang. Pesta yang ramai untuk merayakan malam.
Kamu ingat satu pesta di malam itu ? Hari ulang tahunmu, kamu mengecup pipiku. Aku tak bisa tidur setelah itu. Seperti malam ini. Malam yang dimana kamu hinggap disudut pikiranku. (Tidakkah kau juga memikirkanku ?)
Aku pikir dulu, ketika aku jatuh cinta kepadamu dan aku memilih diam, itu menghindarkanku dari rasa sakit. Aku egois dan aku salah. Aku tahu salah. Aku mengaku salah. Aku bersalah. Sebab rupa rupanya rindu yang aku anggap lucu dan menyenangkan dulu, kini menajam, menyayat aku dan menyayat aku dengan perlahan. Kini aku hidup dengan penuh luka, dan adakah manusia yang terbiasa dengan luka ? Terbiasa dengan rasa perih yang telah dianggapnya lumrah.
Sebab dulu, rindu mudah diobati dengan temu. Bodohlah aku sebab itu satu satunya obat dari rindu. Sebab inilah aku yang menuliskan kata memelas kepadamu. Beharap belas kasihan darimu.
Kini kau mungkin sudah bahagia menata hidupmu yang tinggal selangkah, kemudian mengikat bahagia itu. Jika bahagiamu adalah bahagiaku, kuharap kau benar benar benar bahagia. Bersama dia yang benar benar kau cintai. Dengan aku yang benar benar merasakan kehilangan. Ah tidak, mungkin potongan dariku bukan kamu. Semoga bukan.
Tidakkah kita bisa bersulang sekali lagi sebelum kau bahagia selamanya dan aku yang harus bangkit membentuk bahagiaku ? Sebotol beer mungkin menyenangkan.
Inilah akhir surat ku. Semoga bahagiaku ada.
Dari aku.
Yang egois dengan perasaannya.