Tuesday 10 February 2015

Bahagia

Hai, malam. Ah ini terlaru larut untuk menulis sepucuk surat. Dengar, jangkrik sudah bernyanyi riang. Mereka seperti berpesta didasar rerumputan, menari dan berdendang. Pesta yang ramai untuk merayakan malam.
Kamu ingat satu pesta di malam itu ? Hari ulang tahunmu, kamu mengecup pipiku. Aku tak bisa tidur setelah itu. Seperti malam ini. Malam yang dimana kamu hinggap disudut pikiranku. (Tidakkah kau juga memikirkanku ?)
Aku pikir dulu, ketika aku jatuh cinta kepadamu dan aku memilih diam, itu menghindarkanku dari rasa sakit. Aku egois dan aku salah. Aku tahu salah. Aku mengaku salah. Aku bersalah. Sebab rupa rupanya rindu yang aku anggap lucu dan menyenangkan dulu, kini menajam, menyayat aku dan menyayat aku dengan perlahan. Kini aku hidup dengan penuh luka, dan adakah manusia yang terbiasa dengan luka ? Terbiasa dengan rasa perih yang telah dianggapnya lumrah.
Sebab dulu, rindu mudah diobati dengan temu. Bodohlah aku sebab itu satu satunya obat dari rindu. Sebab inilah aku yang menuliskan kata memelas kepadamu. Beharap belas kasihan darimu.
Kini kau mungkin sudah bahagia menata hidupmu yang tinggal selangkah, kemudian mengikat bahagia itu. Jika bahagiamu adalah bahagiaku, kuharap kau benar benar benar bahagia. Bersama dia yang benar benar kau cintai. Dengan aku yang benar benar merasakan kehilangan. Ah tidak, mungkin potongan dariku bukan kamu. Semoga bukan.
Tidakkah kita bisa bersulang sekali lagi sebelum kau bahagia selamanya dan aku yang harus bangkit membentuk bahagiaku ? Sebotol beer mungkin menyenangkan.
Inilah akhir surat ku. Semoga bahagiaku ada.
Dari aku.
Yang egois dengan perasaannya.

No comments:

Post a Comment