Friday 5 September 2014

Perempuan yang Datang Bersama Hujan

Sepi kian memburu, langkah langkah kecil menuju lelap terhalang oleh bayang. Bulan sedang mengintipku diluar jendela yang sengaja aku buka, semilir dari angin masuk melalui celah celah. Pada pukul sekian tidak ada kepedulian pada tubuh sendiri.
Terkadang aku benci teknologi, memburu seenaknya saja tak kenal waktu. Entah pekerjaan atau lalu lalang jalang yang membunyikannya.
Bulan berada tepat didepan mata saat aku melangkah keluar dari pintu kamarku. Indah,setengah dan resah. Ya resah. Resah yang meracuniku sedari tadi, hingga aku mengutuki ponselku sendiri. Entahlah pikiranku kacau oleh sesuatu.
...........

Kopi tak pernah semanis ini, saat hujan turun dan kau datang untuk pertama kalinya, kuyup dan asing. Aku ingin bertanya "kamu datang bersama hujan, apa kamu juga jatuh dari langit ?" Tapi tidak, aku hanya menatapnya, dengan debar yang tak biasa.
Warung itu cukup sepi, aku didalam sementara dia masih didepan mencoba mengeringkan diri. Bajunya basah, bibirnya pucat seperti dingin sudah menjalar pada tubuhnya.
"Mas, bikinin teh panas satu dong." Celetukku begitu saja, lalu aku mengantarkan minuman itu untuknya.
"Maaf mbak, ini ada teh panas."
"Enggak mas makasih"
"Kenapa mbak ? Saya ngga niat jahat ke embak kok, saya cuma mau ngasih ini."
"Enggak mas, makasih."
"Kalo ngga mau diminum ngga papa, genggam saja, jarimu sudah pucat mungkin karena dingin." Aku memperhatikannya dan menaruh teh itu dimeja dekat dia berdiri.
"Duh mas kok jadi ngerepotin sih."
"Enggak mbak, ngga papa."
"Makasih ya mas."
"Iya mbak sama sama."
Hujan tak pernah berharmoni, degup jantungku seolah jadi metronom dan hujan membuat ketukan bernada. Kau, perempuan yang datang bersama hujan hebatmulah yang membuat irama dari ramai dentuman hujan. Kita berbincang dan saling berkenalan satu sama lain, namamu Citra, dan kamu suka senja dan belajar membenci hujan.
"Sepertinya reda Cit, udah bisa pulang nih."
"Yup, bisa pulang terus ganti baju. Basah semua."
"Dingin, rumahmu cukup jauh. Mau pakai jaketku ?"
"Ah enggak usah, makasih udah dibeliin teh sama ditemenin ngobrol sampai setengah dari celana panjangmu ikut basah."
"Ngga papa, rumahku deket kok dari sini. Toh nanti juga jaketnya dikembaliin hahahaha"
"Beneran nih ngga papa ?"
"Udahlah gapapa pake aja.... eh tapi balikin ya" gurauku.
Kami bertukar nomor ponsel dan kemudian pulang ke rumah . Aku pikir ini petang, namun aku rasa aku melihat pelangi.

Terkadang cinta yang luar biasa berawal dari pertemuan yang biasa biasa saja.

Setelah kejadian itu kami jadi sering saling mengirim pesan teks, berbicara kesana kemari, bercanda dan merencanakan pertemuan kami kembali. Dengan alasan jaketku yang dibawanya waktu itu aku memiliki alasan untuk menemuinya , ya aku akan bertemu dengannya lagi. Hari minggu, jam 7 malam di sebuah coffeshop.

"Hai, sudah lama ?"
"Ah enggak kok aku barusan juga duduk."
Kamu datang dengan rambut panjang yang tertata rapi, dress pendek berwarna biru laut dan aroma segar seperti mawar.
"Ini jaketmu, sekali lagi terima kasih untuk waktu itu."
"Ah udahlah, kebetulan juga"
Kini kami tidak berbincang tentang hujan, basah, dan segala kejadian tentang waktu itu. Kita lebih saling berbicara tentang satu sama lain dan hebatnya aku berani bertanya tentang statusmu. Dan ternyata kamu belum memiliki kekasih dan aku bersyukur atas hal itu.
"Kita bisa bertemu lagi kan ? Untuk menikmati secangkir latte lagi ?"
"Tentu saja, apa yang tidak." Katamu sambil tersenyum, senyum yang semakin menenggelamkanku pada dirinya. Entahlah, aku merasa sesak, ada sesuatu yang akan meledak dibalik rusuk, bahagia yang bercampur cinta. Aku tahu aku jatuh cinta, aku melihat segala menjadi indah. Setiap detiknya aku mengukir senyum dan otakku semakin giat untuk menggambarkan dirimu. Aku jatuh cinta kepadamu disetiap kali aku memikirkanmu.
...........

Hari berganti, waktu berlalu begitu cepat dan kita masih dua sejoli yang sedang jatuh cinta. Hari yang selalu saja diisi dengan canda, tawa dan cinta. Kita bersama dan kita bahagia.
Angin yang bertiup dari timur cukup kencang , sebentar lagi musim panas. Beberapa daun sudah nampak menggugurkan daunnya dijalan kecil yang kita lewati. Jalan itu menjadi cantik sebab tidak hanya hitam namun juga ada kecoklatan dan kuning tua. Kau mengambil beberapa gambar dan sesekali kau pamerkan padaku. Aku, memperhatikanmu dan sepertinya kau bahagia bersamaku. Aku terlalu bahagia mendapatimu.
"Eeeehh, Cit ?"
"Ya ?"
"Aku..."
"Laper ? Aku juga udah laper nih."
"Yaudah, kita cari makan. Mau makan apa ?"
"Lasagna ! Aku mau lasagna"
Aku ingin mengungkap perasaanku diantara daun daun yang sedang gugur yang mungkin masih menjadi pucuk saat kita pertama bertemu. Kau menikmati lasagnamu aku memendam perasaanku.

Setelah itu, waktu banyak berlalu dan aku tak pernah lagi menyerukan isi hatiku. Jika ada orang bilang bahwa ini takdir Tuhan untuk tidak bersamamu aku menyangkalnya, aku tak meneruskan kata kataku waktu itu. Ini salahku, ini bodohku. Aku yang munafik pada perasaanku sendiri yang sudah hampir meledak. Ini salahku yang kini membiarkan ia pergi, perempuan yang datang bersama hujan yang sekarang menghilang. Mungkin dia menguap karena kemarau panjang dan tak ada hujan. Dia yang datang bersama hujan, yang tiba tiba hilang saat kemarau panjang.

No comments:

Post a Comment