Thursday 27 August 2015

Penari

                Kutemukan diriku yang lain, diriku yang didalam diriku sendiri yang sedang merayakan dirinya. Dia merayakan dirinya dengan cara menari dengan gemulai, mungkin seperti Rama. Dia yang bertelanjang dada menari merayakan dirinya. Dia hanya menari untuk dirinya sendiri tak ada mata yang menatap kearahnya kecuali aku yang menemukannya. Sebab dia ada dalam diriku, dia adalah aku yang kutemukan didalam diriku sendiri.
                Tak ada panggung atau pencahayaan yang cukup, aku hanya melihat dia sedang menari dengan gemulai didalam sebuah bayang. Temaram yang disekitarnya gelap. Aku tak mendengar bebunyian untuk mengiringi tarian perayaan dirinya, sesekali hanya kudengar suara langkah kaki yang ditimbulkan akibat tariannya.
                Dia sedang menari, kulihat sesekali dia menutup matanya menikmati setiap gerakan yang dia ciptakan. Seolah dirinya sedang merasakan kebebasan pada gerakannnya yang tak memiliki tempo pasti. Dia hanya bergerak dan menari dan merayakan tubuhnya.
                Semakin lama tariannya kian melambat sampai akhirnya berhenti dan tertunduk menghadap ke arahku. Dia mengangkat wajahnya dan membuka matanya. Aku sadar bahwa pandangannya tajam kearahku. Dia tersenyum, senyum yang penuh penghinaan. Dia menghinaku. Diriku yang lain itu berjalan menghampiriku. Kini aku dengannya hanya sejarak langkah.
                “Kau mungkin aku, kau mungkin diriku. Kau yang berada diluar sana, mengecap bagaimana kebebasan yang sebenarnya. Katanya langit itu biru maka lihatlah langitku. Katanya tempatmu berpijak dapat ditumbuhi pohon maka lihatlah yang kupijak. Katanya ada surya yang menyilaukan maka lihatlah pendarku ditengah. Namun ketahuilah, disini aku merasa bebas sementara kamu ? Sebab ditempatku tak ada dinding, maka hancurkanlah dindingmu kemudian rayakan dirimu.”
                Aku tak berkata, barangkali tak mampu berkata.
                “Sebab kebebasan itu ada jika kau ingin mencarinya.” Lanjutnya.
                Kemudian dia berjalan mundur, selangkah demi selangkah hingga tubuhnya ditelan bayang dan pendar pun meredup kemudian hilang.

Wednesday 26 August 2015

Sheryl : Pertemuan

              Lantai duabelas, tempat saat ini aku berdiri dan menatap keluar. Mungkin kota ini adalah kota para raksasa, dimana buta kala sedang bersembunyi dibalik gedung gedung tinggi. Kendaraan lalu lalang tampak seperti segerombolan semut yang berbaris keluar dari sarang mereka mencari makanan. Jakarta  memang perkotaan yang sangat maju, bahkan mungkin kau tak mampu menghitung kendaraan yang melintas. Metropolitan mungkin memang nama yang tepat untuk kota ini.
                “Sat, lu besok ke Jogja ya buat ngurusin tender yang didapet kemarin. Tiket udah gue email.”
                “Dadakan banget sih ? Terus kerjaan gue ?”
                “Pak Anto ngomong gitu, gue nerusin doang.”
                Kutarik napas panjang, sebelum aku kembali menuju mejaku untuk melihat email dan mencetak tiket pesawat perjalananku besok. Semuanya telah dipersiapkan oleh kantor dari mulai tiket, tempat tinggalku sementara di Jogja dan yang lainnya. Aku di Jogja mungkin sekitar satu atau dua minggu kedepan. Jogja adalah kota untuk berlibur, bukan bekerja.
***
                Pukul  empat sore, langit sudah menguning diluar sana dan aku sedang membereskan mejaku bersiap untuk pulang. Sore ini aku ada janji untuk bertemu sahabatku di salah satu coffe shop tak jauh dari kantor. Dia sahabat SMA-ku, namanya Edgar. Kebetulan dia sedang mengambil cuti dan mengunjungi saudaranya yang ada di Jogja.
“Hai Gar, apa kabar ? Sudah lama menungguku ?”
“Seharusnya kau tak pernah terlambat Sher.” Jawabnya sambil tersenyum kearahku.
                Edgar sepertinya sudah menghabiskan setengah dari secangkir kopi pesanannya. Aku meminta maaf atas keterlambatanku. Dia sedikit menggerutu, memang begitulah kebiasaannya dari SMA. Dia adalah sahabat dari seseorang yang pernah terpisah dariku. Seseorang yang cukup berarti di hidupku, lalu bagaimana kabarnya sekarang ? Satria.
***
                Tentang pertemuan, disinilah awal dari semuanya. Tempat beberapa orang menginjakkan kakinya ditanah kelahiran mereka. Ada peluk yang menunggu mereka di lobby bandara, ada rindu yang siap dihamburkan didalam peluknya. Tentang pertemuan dengan seseorang, mungkin adalah hal yang menyenangkan. Aku tidak begitu mengenal hangatnya rindu yang membuncah didalam peluk dan kecup basah.
                Kutengok jam tanganku yang melingkar di lengan kanan, pukul tiga sore sebentar lagi waktu keberangkatanku. Aku berdiri dari kursi tempatku menikmati secangkir kopi menuju loket check-in untuk melakukan boarding. Aku akan segera menapaki langit, menuju kota tempat seseorang yang mungkin sekarang dia tinggal disana. Kuharap ketidak sengajaan menemukan kita, Sheryl.
***
                Setelah pertemuanku dengan Edgar aku jadi tahu, sekarang Satria bekerja di salah satu kontraktor ternama di ibukota. Kata Edgar, jangan pernah menanyakan keadaan Satria karena mungkin dia sudah mapan untuk kehidupannya jadi aku tak perlu khawatir tentang dia. Tapi aku merindukannya, sebagaimanapun aku tidak perlu khawatir tentang dia, aku merindukannya. Enam tahun sudah berlalu setelah hari terakhir kita bertemu. Sebab mataku tak bisa lepas dari album foto yang kita cetak dua, satu untukku dan satu untuknya.
                Enam tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu sebuah pertemuan. Sebab penantian bukan perkara kesetiaan, akan tetapi kepastian. Adakah dia pernah memikirkanku ? Kini aku takut, aku pernah membuka hatiku dan memasukkan orang lain untuk menggantikannya. Aku tak dapat menyangkal disetiap debarku hanyalah dia, namun sepi sering menggiringku untuk menggantikannya. Namun usahaku sia sia, aku hanya mencintainya yang katanya dia selalu baik baik saja. (dan mungkin harinya sudah diisi yang lain.)
***
                Kata orang Jogja itu terbentuk dari rindu, kenangan dan kembali. Kalian yang pernah singgah di Jogja mungkin akan merasa ingin selalu kembali ketempat ini. Orang orang yang ramah dengan budaya keraton yang masih sangat kental mewarnai setiap sudut kota. Aku di Jogja, langit sudah gelap di Bandara Adi Sucipto. Beberapa supir taxi menawarkan diri untuk mengantar kita ke tujuan. Aku menunggu supir yang katanya sedang perjalanan menuju ke tempat tinggalku sementara di Jogja.
                 Tak lama supir yang menjemputku pun datang, senyumnya ramah dan sederhana. Dia menghampiriku sambil mengajukan tangannya.
                “Pak Satria ya ? Saya Anwar, saya yang akan mengantar jemput bapak selama di Jogja”
                “Untuk pertama, Mas. Jangan panggil saya bapak. Saya belum menikah.”
                “Ng—Ngapunten Mas, maksud saya maaf Mas. Mas mau langsung istirahat atau mau cari makan dulu?” Katanya sedikit kaku.
                “Santai aja mas sama saya, hehe. Mas Anwar sudah makan ? Kalau belum kita cari makan.” Kataku mengakrabkan diri dan dia pun tersenyum kemudian menuntun ke arah mobil kami.
                Di dalam mobil, aku teringat Sheryl.  Bukannya dia juga tinggal disini ? Aku ambil handphone ku dari saku, mencari nomor Edgar satu satunya orang yang mengenal Sheryl di kontak handphoneku. Kutekan dial akan tetapi nomor Edgar ternyata sudah tidak aktif. Aku sangat jarang berkomunikasi dengan Edgar, terakhir aku menanyakan kabarnya mungkin sekitar enam atau tujuh bulan yang lalu. Aku mendesah.
                “Kenapa mas ?” Tanya Anwar dibalik kemudi.
                “Nomor teman saya nggak aktif mas.”
                Aku menatap keluar, mobil itu melewati beberapa ruko yang sedang ramai ramainya. Ada beberapa coffe shop yang kami lewati, dari yang bertemakan outdoor hingga yang terlihat seperti kafe kafe modern. Setelah makan kita melanjutkan perjalanan menuju tempat tinggal sementaraku di sini. Aku sudah cukup lelah setelah perjalanan panjangku hari ini, sepertinya aku butuh istirahat.
                Rumah yang kutinggali sederhana, gerbang masuk beratapkan kanopi sebagai tempat parkir mobil dan perkarangan kecil didepannya. Di dalam hanya ada sebuah ruang tamu lengkap dengan tv dan dua kamar serta satu kamar mandi dan dapur kecil di belakang rumah. Walaupun kecil, rumah itu tertata dengan baik dan bersih.
                “Mas Satria kalo ada apa apa saya di kamar sebelah.”
                “Ini sudah malam, mas istirahat saja atau kalau mas mau pacaran juga boleh mas.” Candaku.
***
                Sabtu malam seharusnya tak pernah semembosankan ini, aku sudah membeli buku baru untuk kubaca. Tapi entahlah minatku untuk membaca hilang. Kuputuskan untuk menghubungi sahabatku, namun aku mengurungkannya. Aku sedang malas menjadi obat nyamuk, pasti dia sedang dengan pacar barunya.
                Akhirnya tanpa pikir panjang aku pergi ke coffe shop di daerah Gejayan, membawa buku yang baru aku beli. Minum kopi sembari membaca buku sepertinya menyenangkan. Coffe shop yang aku pilih adalah tempat yang tak terlalu ramai sebab tempat ini bukan tempat favorit anak muda menghabiskan waktunya. Tapi ini malam minggu, pasti lebih ramai dari hari biasanya.
***
                Sewaktu jalan pulang dari sebuah pertemuan dengan klien, aku menyadari bahwa tak jauh dari rumah dinasku ada sebuah kedai kopi kecil, tempatnya terlihat cukup menyenangkan dari luar. Di dalam kedai kopi itu didominasi oleh warna pastel yang hangat dan tataan kursi kayu dengan sandarannya. Setelah membersihkan diri aku berjalan menuju kedai kopi itu membawa laptop agar tak terlalu membosankan saat aku menghabiskan waktu sendirian.
                Aku memilih tempat duduk di area smooking room yang terletak didekat pintu masuk. Rasa caffelatte dari kedai kopi ini tak mengecewakan dengan harganya yang relative lebih murah. Kubuka laptopku untuk menikmati waktu luang sembari menyesapi cafelatte yang halus.
                Aku bersandar, menikmati suasana tempat itu sesekali. Beberapa orang sedang bercengkrama berbagi cerita dan diluar tampak kendaraan sedang berlalu lalang melintasi jalanan. Mataku terhenti saat melihat sesosok wanita yang sedang memarkirkan motor matic-nya. Dia mengenakan pakaian santai, kaos hitam dan cardigan coklat. Rambutnya yang panjang dan matanya yang berbinar, seolah aku mengenalnya. Aku memperhatikannya yang sedang mengecek notifikasi handphone-nya diatas motor.
                Dia beranjak dari motornya menuju pintu masuk yang terbuat dari kaca dan dibingkai dengan kayu jati. Dia membuka pintunya. Mata kita bertemu. Aku tak percaya melihat siapa yang aku temui dan kulihat dia memunculkan ekspresi yang sama. Kupanggil namanya.
                “Sher ?” kataku penuh tanya.
                Dia menghampiriku, memastikan siapa yang memanggilnya.
                “Aku hubungi Edgar tapi nomor handphonenya sudah nggak aktif.” Kataku lagi. Matanya berkaca.
                Dia tanpa kata, kepalaku penuh tanya. Dia tersenyum dengan matanya yang berkaca kaca memelukku yang masih duduk di kursi kayu.
                “Aku kangen kamu, syukur kamu baik baik saja. Sat.” Katanya didalam pelukan.

                 

Monday 10 August 2015

Merayakan Kita

Aku sedang merayakan kita, dengan nada nada minor dikepala. Entah gitar entah biola, aku benci memulai ketumbangan raga dengan cara tak semestinya.
Aku sedang merayakan kita, tak peduli kau tak ada. Sepi menelanku sejak lama, tak memiliki rasa, tak berasa.
Aku sedang merayakan kita, tanpa alkohol tentunya. Nona, entah bagaimana kutemukan bayang pada rinai hujan. Sepekat malam hatiku lebam dihajar kenyataan.

Nona, hadirmu tiada.
Tak kumohon untuk kau hadir ditengah kita.
tentu saja aku dengan bayangku yang terlihat nestapa.

Nona, aku termakan rindu.
Menunggumu tak menghiraukanku kepada laju waktu.

Ijinkan aku melangkah, selangkah.
Tak mengapa jika memang harus tanpa kamu.
Sekalipun aku harus melawan resah.
Tak mengapa selagi itu untuk bebasku.
Yang tanpa kamu.
Tanpamu.

Semoga ini terakhir kalinya aku merayakan kita.
Semoga. Nona.

Wednesday 29 July 2015

Tak Kenal Waktu

Pertengkaran malam ini membuatku kalut. Lihatlah banyak piring yang kau banting dan kau lempar ke arahku. Katamu aku brengsek, tidak mengindahkan hadirmu disampingku. Percayalah tak seperti yang kau anggap.
Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu, sayangku. Matamu yang coklat dan rambutmu yang hitam legam membiusku untuk berlama lama denganmu. Namun cinta saja tak membuat kita bertahan di dunia dengan sejuta tuntutan. Sayangku, perkasaku kamu. Jangan kalutkanku. Percayalah aku mencintaimu tak mengenal waktu sekalipun aku sedang tak bersamamu. Sayangku, adakah sisa cangkir untuk dua kopi sebagai jembatan kita kita berbicara ? Aku ingin kau tahu aku cinta kamu lebih dari apa yang telah kamu hancurkan didepan mataku. Aku mencintaimu tak kenal waktu.
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Es Krim Vanilla

Nona, mataku tak memandang fisik. Aku suka caramu menikmati es krim vanilla dengan taburan bubuk kayu manis diatasnya. Bagaimana kau menutup matamu menikmati dingin dan manisnya es krim itu seolah kau sedang dikecupinya. Perlahan aku jatuh hati saat memandangimu menikmatinya.
Aku tahu Nona, pada cangkir mangkuk itu tersimpan glukosa dan lemak. Tak mengapa kau menikmatinya sebab bahagiaku juga disana. Alasan dari semyummu yang tak kulupa.
Jangan marahi aku saat kau takut gendut atau timbanganmu yang naik dua atau tiga kilo nantinya, percayalah aku mencintaimu tanpa memandang fisik. Sebab pada es krim vanilla aku menemukan debar lain pada dadaku.
Kini isak menemanimu, sebab kekasihmu yang brengsek itu menduakanmu. Aku memandangimu selisih dua meja. Kupesan pada pramusaji semangkuk es krim vanilla favoritmu dan tak lama dia mengantarnya kepadaku. Kuambil mangkuk itu dan berjalan menghampirimu. Aku menyapamu dan berkata "Nona, disemangkuk eskrim vanilla ini pernah kutemukan debar yang kufavoritkan. Boleh aku menikmati debar itu didekatmu ?"
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Monday 27 July 2015

Matiku Milikmu

Kau menggurat pilu.
Pahit pahit kau beri untukku.
Tak adakah manis yang kau beri untukku.
Semu semu kau pergi dariku.

Kau tanya untukku.
Bukan jawab yang hadir padaku.
Tak adakah kepastian bagiku ?
Lama waktu kau menggantung rasaku.

Kau malam malam kelabu.
Rindu rindu kurajut padamu.
Kata kata kuberi padamu.
Sendu sendu matiku milikmu.

Kau bajingan yang kutunggu.
Keparatnya dirimu tak mengindahkan pintaku.
Sebrengsek itu.
Mati ku padamu

Saturday 11 July 2015

bahagia (?)

                Hari ini begitu spesial, seharusnya seperti itu. Aku tengah mengenakan kemeja dan tuxedo rapi berwana hitam. Aku berjalan menuju sebuah gedung yang indah dengan dekorasi yang kesemuanya beraksen merah dan putih. Rangkaian bunga mawar tampak menghiasi sekitaran gedung ini, sangat indah. Tidakkah kesemuanya warna dan hal favoritmu ?
                Ini adalah sebuah perayaan yang harus aku hadiri, sejujurnya aku ingin melihat sebahagia apa dirimu saat ini. Aku membayangkan bagaimana senyummu tergambar diwajahmu dengan dress putih dan bouquet bunga mawar yang kau genggam di depan sebuah altar pernikahan.
                Disekitar gedung itu terdapat sebuah taman dan ada seorang petugas yang sedang menyirami tanaman dengan sebuah selang dengan airnya yang menyebar, seperti hujan. Mengingatkanku tentang satu hari dimana aku memulai untuk mencari senyummu, senyum yang seharusnya memang kau miliki.
***
                Kau datang bersama hujan, mencari kekasihmu yang aku pikir hilang yang entah ditelan waktu atau apapun itu. Kau menghampiriku yang sedang menikmati hujan dengan basah kuyup dan berantakan. Ada sendu dimatamu. Aku takkan melupakan saat itu, saat pertama kali kau datang dan membawa masalahmu.
                Sebenarnya aku tak tahu bagaimana kamu bisa dengan mudah menemukanku, sekalipun kau kekasih sahabatku bukankah kau tak pernah memiliki nomor ponselku ? Saat itu benar benar kau merusak suasana nyamanku, namun apa daya sorot matamu membuatku iba. Kau memohon kepadaku agar menemukanmu dengan kekasihmu. Aku menghubungi kekasihmu yang ternyata sedang nyaman dipelukan selimutnya. Curang pikirku
                Tak lama kekasihmu datang, aku sedikit mendengar bagaimana kau bertengkar dengan kekasihmu waktu itu. Suaranya tak cukup jelas karena tersamar oleh hujan. Kemudian kekasihmu itu memanggilku, meminta tolong kepadaku untuk menemaninya mengantarkanmu. Aku membawa motormu dan kalian berboncengan, dari situ aku baru sadar untuk menuju kemari kau sempat jatuh tapi kau tak menunjukkan lukamu. Sesampainya dirumah yang entah siapa itu kau turun dan mengucapkan terima kasih kepadaku tanpa menatapku, aku tahu hujan telah reda namun aku tahu dimatamu hujan baru saja dimulai. Mungkin sejak itu aku bersumpah kepada diriku sendiri bahwa aku yang akan menciptakan senyum dibibirmu, dan bersumpah membuat sahabatku menyesal telah melukaimu. Aku percaya kau mempunyai senyum yang sempurna untuk menertawainya dikemudian hari.
                Beberapa minggu berlalu setelah hari itu, hari dimana hanya kutemukan sendu dimatamu kau menghubungiku. Kita bertemu dengan rambut panjangmu yang sudah kau pangkas habis, aku sedikit kecewa atas perubahanmu. Dari matamu kau tak pernah bisa menyembunyikan sesuatu, kau masih menyimpan setumpuk rindu kepada mantan kekasihmu itu.
                Kita saling bercerita, tentang semua yang kita lakukan masing masing, dan terkadang kau menanyakan kabar kekasihmu. Seharusnya kau malu pada dirimu sendiri, dia mencampakkanmu. Sekalipun cinta itu buta, cinta juga tak juga sebodoh itu. Jika kau pikir cinta setulus itu, cintanya tak setulus yang kau pikir. Begitulah pikirku. Namun aku tak bisa berbuat banyak, siapalah aku saat itu, hanya seorang yang dekat dengan mantan kekasihmu. Tak lebih kupikir.
                Aku ingat, betapa sering dulu aku mengajakmu menikmati sore dengan senja diujungnya dipinggir kota. Tidakkah kau sadar pada saat itu aku sedang memberi tahu kepadamu tentang sesuatu yang disebut merelakan. Ini tentang senja dan surya yang jatuh di barat cakrawala. Lihatlah bagaimana bumi mampu merelakan hangatnya dan menyambut dinginnya malam. Bagaimana bumi rela hidup dalam gelapnya, dan gigil menyelimutinya setelah sang surya benar benar meninggalkannya. Ketahuilah bahwa hidup tidak tentang itu saja, bumi tetap melangkahi malamnya yang semakin meninggi karena dia tahu esok akan hadir hari yang baru, hangat yang menghilangkan gigil dan menguapkan segala embun yang menempel di segala tetumbuhan yang hidup dipermukaannya.
                Sebab aku hanya ingin menginginkanmu bahagia, sampai apapun yang kau inginkan jika aku mampu menyanggupinya aku akan menyanggupiya. Seperti hari dimana hari kelulusanmu dari perguruan tinggi. Karena aku sedang bekerja aku tak bisa untuk hadir dan merayakan hari kelulusanmu.
                Sebuah sore di akhir pekan setelah hari kelulusanmu, kita bertemu. Aku meminta maaf karena aku tak bisa hadir dan atas dasar itu aku memberikanmu sebuah permintaan yang akan aku kabulkan. Aku tidak pernah menyangka kau segila ini, permohonan yang sangat aneh. Kau hanya menginginkan seikat bunga mawar yang dijual di dekat kampusmu yang berada diluar kota. Karena aku telah berjanji aku mengabulkan keinginanmu.
                Kita berangkat ke kota tempat kampusmu berada untuk membeli seikat bunga. Kau memutuskan naik bus untuk pergi kesana, katanya kau menginginkan pengalaman berbeda. Aku tak tahu sebenarnya apa yang ada didalam kepalamu, aku hanya memegang janjiku. Sesampainya di kota itu dan kau mendapatkan seikat bunga  kulihat kau tersenyum. Memang seharusnya kau seperti itu, senyum membuatmu terlihat lebih cantik. Tetaplah seperti itu agar aku bisa tertawa mempecundagi sahabatku sendiri tanpa dia pernah sadar. Sebab aku telah menang atas satu sumpahku.
***
                Kini aku sudah berdiri di depan sebuah gedung tempat resepsi pernikahan akan diadakan, banyak tamu yang sudah hadir. Aku mengenal beberapa dari mereka yang seumuran denganku. Langkahku perlahan menuju pintu masuk, aku sesekali memperhatikan dekorasi yang memang sangat indah. Bunga mawar hampir ada disetiap sudutnya. Sampailah aku didepan pintu gedung yang cukup besar dan gagah, berwarna kecoklatan. Aku rasa ini dekorasi yang memang benar benar disukainya.
Kini dikejauhan aku sudah bisa melihat sebuah altar, yang sangat besar dan mewah dengan gebyok jawa sebagai background dari altar itu sendiri. Pernikahan yang berkonsep jawa dan modern, sederhana namun terlihat cukup berkelas. Di altar itu ada seorang wanita yang berdiri, menggunakan kebaya putih dengan payet yang berkelip seperti bintang dari kejauhan, yang sedang berdiri dan tersenyum dengan menggenggam bouquet kecil bunga mawar merah.
Aku berjalan menghampirinya, disetiap langkahku menujunya kenangan itu kembali hadir. Saat dimana bola matanya menikmati senja dipinggir kota dan mataku menatap matanya. Saat diamana aku merasa terlempar dan membentur bola matanya. Saat dimana aku menahan mulutku agar tak membunyikan perasaanku bahwa aku mulai jatuh hati kepadanya saat itu juga. Kemudian aku menyalakan rokokku dan menghisapnya seolah perasaanku juga akan ikut terlepas bersama asap yang juga keluar dari mulutku, namun tidak. Bagaimana udara mencekikku dengan menghadirkan dia didalam kepalaku disetiap kali aku menarik napasku saat tak bersamanya. Bagaimana aku mulai menyukai lagu bertempo pelan dan melamunkan dia ditiap malamku. Belum lagi hari dimana aku ingin mencuri satu kecupan dikeningnya saat ia tertidur didalam bus sambil memeluk bouquet mawar hadiah kelulusannya. Aku ingat betapa payahnya aku yang hanya berhenti kemudian mengusap keningnya saja dan kembali pada sandaranku kemudian memasang headset ditelingaku.
Kini wanita itu sedang berdiri didepan altar, dan aku  menghampirinya. Tidak, dia tidak sedang menungguku untuk menemani disampingnya di altar itu. Seorang pria dengan kebahagiaan yang tercetak diwajahnya sudah berdiri disampingnya. Dia adalah pria yang sekarang telah menjadi teman hidupnya. Dulu mereka bertemu ditempat kerja kemudian berpacaran dan lalu melakukan pernikahan beberapa hari yang lalu. Aku menghampiri mereka.
Cinta adalah sebuah pengorbanan, dan rasa adalah egoisme. Terkadang kau harus berkorban untuk seseorang yang kau cintai agar dia merasa bahagia tanpa kau pedulikan bagaimana keadaanmu setelahnya. Terkadang kau harus merelakannya pergi jika bahagianya memang bukan bersamamu. Terkadang kau harus bertahan, sekalipun lukamu sudah tak sanggup kau tahan. Dan terkadang hanya demi kebahagiaannya kau rela membunuh perasaanmu sendiri.

Kini kau telah menikah bersamanya, kuucapkan selamat dan semoga aku bahagia.

Thursday 4 June 2015

Mungkin Aku Terlalu Lelah Merindukanmu

Mungkin aku telah lelah merindukanmu.
Sebab ketika pejamku, aku sudah tak lagi menemukanmu.
Sebab ketika udara masuk dalam peparu, tak ada lagi sesak yang mendesakku.
Mungkin aku terlalu lelah merindukanmu.
Aku menggambarkan bayangmu didalam pikiranku, kau tahu yang kudapati hanyalah kelabu.
Mungkin aku terlalu lelah merindukanmu.
Kalimatku mati suri, aku tak tahu bagaimana lagi aku harus menggambarkan betapa aku begitu merindukanmu.
Kau tahu, aku benar benar lelah merindukanmu.
Kini aku tak lagi peduli padamu.
Kini aku tak bisa lagi memikirkanmu, bahkan aku benar benar lupa bagaimana senyummu.
Kini, aku ingin membunuh perasaanku padamu untuk yang terakhir kali.

Saturday 28 March 2015

Bagaimana Orang Tidak Memanggilmu Indah ?

Bagaimana orang tidak memanggilmu indah ?
Insan yang hidup penuh kasih sejak lahir, yang mencari kuncup puting susu ibunya yang tengah mengembang cantik.
Lapis bibir rahim yang ditembus dengan tenaga kasih ibunya dan berkat dari Tuhan.
Orang yang tumbuh dan dewasa.
Bagaimana orang tidak memanggilmu indah ?
Ketika kau berjalan dibawah sang surya yang begitu terik, hanya kaulah yang membuat mataku mengenal teduh.
Bagaimana orang tidak memanggilmu indah ?
Dihari yang dingin, dimana gigil menyusupiku namun senyummu selalu saja membuatku lupa rasa dari gigil.
Bagaimana orang tidak memangilmu indah ?
Bayangmu mampu merambat di nadiku, jantungku berdenting dengan ritme yang tidak pasti disaat kali pertama mataku menatapmu.
Bagaimana orang tidak memanggilmu indah ?
Indah adalah takdir yang kau miliki, dan memujimu adalah pendewasaanku untuk jujur pada diriku sendiri.

Friday 27 March 2015

Lengkap

Muram awan tak seberapanya bahagiaku.
Seolah awan menari diatas sana.
Bergerak ditiup udara.
Bebas.
Tidakkah kebebasan adalah milikku.
Menikmati apa yang ingin aku nikmati.
Tidak peduli bagaimana orang lain, namun tidakkah aku bahagia ?
Egois.
Seperti tebing yang menghalangi pandangan senja.
Seolah ia hanya ingin sendirian menatap senja.
Bukan karena ingin sendiri, namun dia tidak ingin senjanya dinikmati orang lain.
Lucu.
Seperti halnya kamu, bagaimana bisa ada orang yang seperti kamu ?
Yang berpikir segalanya adalah milikmu.
Ketahuilah, sesuatu yang melengkapimu itu bukan milikmu.
Seperti halnya puzzle yang terkait satu sama lain, mereka tidak bersatu namun hanya melengkapi.
Dan seperti itupun aku, yang tidak merasa dilengkapkan. Olehmu.

Thursday 26 March 2015

Pesan Dari Rasa yang Tanpa Suara

Aku berada pada malam.
Dimana dingin mengutuki mereka yang sedang merindukan seseorang.
Selimut tak lagi menghangatkanku.
Beku menjalar di nadi nadiku.
Bagaimana kabarmu ?
Daun berserak ditepi jalan pagi nanti.
Sebab angin meniupi pepohonan malam ini.
Malam yang aku takut lewati sendiri.
Malam dimana aku memikirkan seseorang yang sedang membayangkan orang lain bersamanya.
Sebab itu menyakitkan.
Seharusnya kau tahu, bagaimana aku jatuh cinta padamu dan tak sanggup bangun lagi.
Bagaimana bisa kepedulianku kepadamu tak kau indahkan.
Aku tidak menuntutmu memekakan segala indramu.
Seperti halnya daun daun yang terbang ditiup udara, begitulah yang seharusnya yang terjadi.
Namun tidak.
Apapun yang kulakukan tak menghasilkan sedikitpun geming darimu.
Sedikitpun tidak.
Sama sekali tidak.
Lalu, apakah jawabnya tidak ?
Atas segala pertanyaan pertanyaan yang berputar dikepalaku.
Sebab kini kau memilihnya dan aku tak ada pilihan selain kamu.
Sebab sesungguhnya cinta bukan pemilih.
Kau memilihnya, aku memilihmu.
Tak ada yang seharusnya, tetapi aku hanya memilihmu.
Menjatuhkan hati harus menyadari kehancuran.
Semoga kau bahagia, bersamanya.
Sebab cinta adalah pengorbanan, jika kau tidak bersamaku, paling tidak kau bahagia.
Namun tidakkah kau bahagia saat bersamaku ?

Saturday 28 February 2015

Didalam Mimpiku

Didalam mimpiku, ada kamu berdiri di rerumputan sebelum pantai dengan pasir putih yang silau.
Nyiur angin meniupi rambutmu, membuatnya menari bersama udara.
Ombak bergulung dikejauhan, tepi pantai hanya ada ketenangan. Namun suara suara dari kejauhan itu selalu membuatmu candu. Suara ombak yang bergulung.
Didalam mimpiku, ada kamu yang mengenakan gaun biru panjang sewarna dengan warna laut yang tosqua ditepi dan biru ditengah.
Langit bersih, cuaca cerah dan mentari tersenyum bersamamu.
Sebab hari masih muda, didalam mimpiku aku tak berjumpa senja.
Didalam mimpiku, aku ini tak berupa, tak memiliki tangan pula badan yang berwujud. Dalam mimpiku sendiri aku hanya seperti hantu yang memandangimu ditepian pantai tak bernama pula bertuan.
Didalam mimpiku, kau seolah menengok dan melempar tatap kearahku.
Aku yang tak berwujud, aku yang tak bisa kemanapun seolah aku hanya terpaku menatapimu.
Didalam mimpiku, kau tersenyum menghampiriku berlari kecil dan bertelanjang kaki.
Kau mengulurkan tanganmu, aku juga mengulurkan tanganku.
Tetapi aku tak berwujud, bertangan pula berbadan.
Didalam mimpiku, dikedekatan ternyata kau meraih sebuah boneka yang ada didiriku.
Teddy bear itu hanya setinggi lengan, dengan rompi berwarna biru.
Dalam mimpiku, kau tersenyum menatapi boneka itu, kemudian kau menari nari bersamanya.
Bersama angin yang bertiup diiringi irama ombak dari kejauhan.
Kau bahagia, mungkin pula boneka itu.
Sebab boneka itu tak berekspresi, ia hanya menari bersamamu.
Didalam mimpiku, kau dihampiri seorang laki laki.
Dengan kemeja dan celana putih, seperti pangeran yang merusak mimpi seseorang.
Kau jatuhkan boneka itu, kemudian kau berlari menghampirinya, memeluknya dan tak segan kau mengecupi bibirnya didepan mataku.
Aku dapat melihat namun aku tak berwujud.
Didalam sadarku, aku berpikir mungkin aku dan boneka itu satu.
Sesuatu yang kau hampiri dan kau pungut, kemudian tak segan kau meninggalkannya.
Didalam sadarku, aku sadar aku bukan siapa siapa kecuali boneka yang ditinggalkan gadis ditepian pantai.

Aku Mencintaimu

Apa kamu sudah membaca suratku kemarin ? Yang aku tulis dengan sendu, hari demi hari aku menuliskannya. Memilih kata demi kata, agar kau tak tersinggung. Agar kau tahu betapa ketidak berdayaanku yang tanpa kamu. Kali ini aku akan mengungkapkan perasaanku kepadamu, sekalipun mungkin kemarin kau sudah tahu betapa aku jatuh cinta kepadamu. Tetapi hari ini aku akan mengungkapkan segalanya kepadamu. Ketika aku sadar bahwa aku jatuh cinta kepadamu. (Sampai hari ini aku tidak tahu kenapa hatiku memilihmu dan bagaimana bisa debarku membunyikan namamu.) Aku merasakan banyak rasa, aku bahagia, sekaligus kecewa. Sebab aku jatuh cinta kepadamu. Jatuh cinta itu indah, namun mungkin juga canggung. Canggung yang membunyikan perasaan, canggung untuk mengakui cinta. Aku. Padamu. Ah, aku seperti melupakan rindu kepadamu malam ini. Malam ini aku seperti sedang jatuh cinta lagi. Kepadamu. Sekalipun kini kau sudah tak pernah hadir dalam kehidupanku dikarenakan aku yang lamban merasakan benih benih yang kini tumbuh serupa pohon yang tanpa daun. Pohon rasa yang tak lengkap, yang mengakar, menancap dan terus menerus tumbuh. Aku akan katakan cinta kepadamu. Ya, aku mencintaimu. Sekalipun ini terlambat, sekalipun mungkin ucapku sudah tak akan menggema dihatimu. Berbahagialah dengan dia yang mencintaimu, yang tak selamban aku merasakan cinta yang tumbuh. Berbahagialah, meski bahagiamu bukan bersamaku.

Friday 13 February 2015

Dialog Cermin

"Bisa tolong katakan, aku ini pria seperti apa ?" Cermin mengacuhkanku saat aku bertanya. Bayanganku tak begitu nampak didalamnya. Ruangan ini tak cukup terang baginya untuk menampakkan diriku yang lain. Diriku yang didalam cermin, yang tak lelaki maupun perempuan. Yang tak peduli dia siapa. Yang tak bahagia maupun berlinang airmata.
Sebab diriku yang lain terpatri didalam cermin, yang sesekali kupandangi matanya yang kosong, yang sesekali aku memujinya tampan. Yang sesekali menelanjangi aku yang naif diluar cermin. Dia nampak dingin, pupil matanya melebar mencari sedikit cahaya agar matanya mampu menatapku jelas dengan kekosongan. Bibir yang tak mengembang ataupun menguncup. Yang tak tersenyum maupun bermuram durja.
"Katakan siapa aku ?" Aku sekali lagi bertanya padanya. Dia yang didalam cermin. Aku yang terperangkap pada dimensi lain. Dia masih diam, menatapku tajam. Aku tak menemukan jawaban, sebab dia masih diam. Apa dia bisu ? Apa dia tak mengenal aksara ? Bukankah dia adalah aku yang lain ? Apa mungkin karena dia masih terperangkap didalam cermin ?
"Kumohon, aku tak tahu siapa aku. Jika kau tahu, beri tahu aku." Aku menunjuk diriku, dia menunjuk dirinya secara bersamaan.
"Aku ?" Kembali kutunjuk diriku dan dia menunjuk dirinya. Dia tersenyum, dan aku mulai mengerti.
Aku adalah aku, aku bukan siapa siapa. Sebab aku hanyalah diriku, yang tidak ditambah pula disusut. Aku adalah aku, yang kosong, yang tak bertuan dan tak memiliki hamba. Aku adalah tuan bagiku dan hamba bagi diriku sendiri. Aku hanya aku, aku bukan orang lain bagi diriku. Sekalipun penilaian menganggapku berubah, aku tetaplah aku.
Kembali aku menengok kearah cermin, bayangan itu kembali menjadi bayangan. Cermin itu kembali menjadi pantulan. Aku yang lain sudah bersembunyi didunianya kembali. Mungkin dia menertawaiku yang naif dengan diriku sendiri sekarang.

Tuesday 10 February 2015

Bahagia

Hai, malam. Ah ini terlaru larut untuk menulis sepucuk surat. Dengar, jangkrik sudah bernyanyi riang. Mereka seperti berpesta didasar rerumputan, menari dan berdendang. Pesta yang ramai untuk merayakan malam.
Kamu ingat satu pesta di malam itu ? Hari ulang tahunmu, kamu mengecup pipiku. Aku tak bisa tidur setelah itu. Seperti malam ini. Malam yang dimana kamu hinggap disudut pikiranku. (Tidakkah kau juga memikirkanku ?)
Aku pikir dulu, ketika aku jatuh cinta kepadamu dan aku memilih diam, itu menghindarkanku dari rasa sakit. Aku egois dan aku salah. Aku tahu salah. Aku mengaku salah. Aku bersalah. Sebab rupa rupanya rindu yang aku anggap lucu dan menyenangkan dulu, kini menajam, menyayat aku dan menyayat aku dengan perlahan. Kini aku hidup dengan penuh luka, dan adakah manusia yang terbiasa dengan luka ? Terbiasa dengan rasa perih yang telah dianggapnya lumrah.
Sebab dulu, rindu mudah diobati dengan temu. Bodohlah aku sebab itu satu satunya obat dari rindu. Sebab inilah aku yang menuliskan kata memelas kepadamu. Beharap belas kasihan darimu.
Kini kau mungkin sudah bahagia menata hidupmu yang tinggal selangkah, kemudian mengikat bahagia itu. Jika bahagiamu adalah bahagiaku, kuharap kau benar benar benar bahagia. Bersama dia yang benar benar kau cintai. Dengan aku yang benar benar merasakan kehilangan. Ah tidak, mungkin potongan dariku bukan kamu. Semoga bukan.
Tidakkah kita bisa bersulang sekali lagi sebelum kau bahagia selamanya dan aku yang harus bangkit membentuk bahagiaku ? Sebotol beer mungkin menyenangkan.
Inilah akhir surat ku. Semoga bahagiaku ada.
Dari aku.
Yang egois dengan perasaannya.

Friday 30 January 2015

Sepertimu Yang Kukenal, Dulu.

"Hai, bagaimana kabarmu ?" Aku yang masih pecundang ini masih takut menanyakan itu kepadamu. Kata itu nampak sederhana, namun seribu syukur jika kau benar seperti yang kuharap. Kau sedang baik saja, atau lebih dari itu. Kau bahagia dan kau sehat.
Malam ini hujan turun lirih pelan mencium atap atap rumahku, aku pelan pelan hanyut dalam perasaanku. Bukankah kau suka hujan ? Berlama lama pada cangkir kopimu, kau kecup mesra bibirnya (sepertinya aku iri pada benda mati) earphone-mu melantunkan lagu lagu bertempo lambat. Disekitarmu ada hening yang memekat.
Jika kau juga ingin tahu kabarku, aku baik, aku sehat, dan aku cukup bahagia. Ada banyak orang baik (dan bodoh) yang selalu membuatku merasa bahagia. Namun ketahuilah, aku yang tanpamu bukanlah utuh. Tidak, aku tidak mengharap kau kembali. Tidak, aku tidak.
Aku tidak akan menuliskan banyak kalimat malam ini. Aku ingin menikmati hujan. Sepertimu yang kukenal, dulu.

Saturday 10 January 2015

Kau dan Aku Semoga Beda yang Dipersatukann Tuhan

Dalam petak petak otak.
Ada kenangan yang tersimpan rapat.
Ada mimpi yang mencari tempat.
Kau tidak akan pernah mengerti tentang masa.
Dimana asa menjadi nyata, dimana mimpi tak lagi hanya menjadi do'a.

Aku berdiri ditengah masa ini.
Sebelum masa depan.
Sesudah masa silam.

Aku merapalkan doaku kepada Tuhan.
Memberikan apa yang tak aku miliki kepada-Nya.
Menyisipkan namamu pada bait bait yang kurapal kepada-Nya.

Bagian bagian diriku adalah milik-Nya
Begitupun kamu.
Sebab ketahuilah, kau bagian dariku, begitupun aku bagian darimu.

Sebab aku selalu berharap kepada Tuhan.
Bahwasanya kita benar satu yang ditakdirkan.
Bahwa kita adalah bagian yang saling menyempurnakan.

Semoga takdir tidak membawa kita kemana mana.
Semoga kita benar seperti apa yang aku mohonkan kepada Tuhan.
Doaku selalu berada pada lintasan.
Menuju kepada Tuhan.

Kau dan aku semoga beda yag dipersatukan Tuhan.

Monday 5 January 2015

Sheryl : Permulaan

Kuseduh tehku, sudah cukup kopi untuk hari ini. Malam begitu dingin, aku baru saja pulang, hari yang cukup panjang. Bintang tergantung diatas sana, mungkin beberapa dari mereka bersembunyi dibalik awan, seperti malu malu. Kenapa bintang bersembunyi ? Aku tidak akan menangkap mereka sekalipun mereka berkedip genit kepadaku. Dasar bintang pemalu.
Aku jadi teringat sesuatu. Cinta malu malu, aku juga pernah mengalaminya. Sheryl, bagaimana kabarnya ? Aku berjalan kembali kekamarku, menuju pada sebuah rak buku kemudian mengambil sebuah album foto dengan sampul tebal berwarna coklat tua. Aku kembali ke ruang tv, menikmati secangkir teh hangat yang ku buat tadi sembari melihat lihat album foto yang aku bawa. Aku duduk disebuah kursi santai, yang panjang agar aku bisa meluruskan kakiku. Aku duduk disana, aku buka album itu.
Pada foto pertama, aku melihat sebuah gerbang, gerbang sekolahan dengan pohon yang cukup rindang didalamnya, dengan pagar berwarna coklat dan nampak guguran daun berwarna kuning muda berserakan dibawahnya. Kisah ini berawal dari sana.
****
"Halo teman teman, nama saya Rio, Muhammad Satrio. Teman teman bisa memanggil saya Rio, saya murid pindahan baru disekolahan ini. Salam kenal." Sapaku sambil tersenyum kepada teman teman kelasku yang baru. Aku murid pindahan dari salah satu SMA di ibukota. Aku pindah ke kota ini karena orang tuaku dipindah tugaskan dikota ini. Tempat baru yang jauh dari hiruk pikuk macet ibukota. Aku sedikit bersyukur atas itu.
Hari itu hari pertama aku masuk kesekolah yang baru, seperti halnya murid baru aku harus beradaptasi disekolah ini. Ya, sepertinya orang orang disini baik baik dan ramah.
"Oi, kenalin, aku Edgar." Edgar adalah teman sebangkuku, dia mengajakku berkenalan. Teman pertamaku disekolah ini.
Bel sekolah berbunyi, pertanda jam pelajaran usai. Ya, sepanjang pelajaran aku tidak terlalu memperhatikan apa yang guru bicarakan, aku terlalu sering mengobrol dengan Edgar, kita saling memperkenalkan diri dan bercerita tentang masing masing.
Aku jadi tahu, dia orang yang cukup tidak peduli dengan pelajaran, dia juga sering membolos saat dia tidak ingin bersekolah. Aku rasa aku salah memilih teman, tapi untunglah, dia baik dan ramah kepadaku.
"Yo, kekantin yok. Laper ga sih ? Siapa tau kamu nemu gebetan disini."
"Ngga secepet itu kali gar." Jawabku sinis terhadapnya,namun dia tertawa. Aku beranjak dari bangku ku, mengikuti dia menuju kantin.
Seperti biasa, pemandangan kantin disetiap sekolahan selalu ramai dengan siswa. Entah mereka ingin makan atau sekedar bercanda dengan sahabatnya.
Setelah memesan makanan, kami memilih salah satu meja.
"Gimana ?"
"Apanya ?"
"Calon gebetan."
"Enggak lah gar, aku ga mau aneh aneh, aku anak baru disini."
Edgar tertawa, siang itu dikantin, kami tertawa dan Edgar mengenalkanku kepada beberapa temannya.
****
Kusesapi tehku, rasanya cukup pahit karena aku tidak terlalu suka mencampurkannya dengan gula. Terasa hangat mengalir ditenggorokanku, seperti sesuatu yang hidup kembali. Foto berikutnya ada Edgar, yang sedang tertawa bercanda dengan sahabatku yang lain, "bocah ini, semoga dia baik baik saja." Aku tersenyum, dia sahabatku yang entah sekarang bagaimana kabarnya. Kudengar dia bekerja di luar kota sekarang. Entahlah aku hanya mendengarnya, tidak memastikannya. Sebab aku sudah lama tidak berhubungan dengannya.
Lembar demi lembar kemudian aku lalui dengan senyum rindu kepada mereka yang pernah mengisi hidup. Sampai pada suatu lembar, ada seorang gadis yang tersenyum manis, bibirnya tipis dengan rambut yang hanya sebahu. Matanya selalu memikat, siapapun yang memandangnya. Sayu seperti putri malu dan tajam seperti pedang yang dihunuskan. Dia mengenakan seragam osis dan tas punggung putih dengan tiga garis merah membujur yang ada disebelahnya.
Sekarang seolah ada sesak yang menjalar, reronggaku tertutup rasa. Entah apa ini, seolah aku ingin berucap, namun tidak bisa dan tidak tahu harus berucap apa. Aku hanya tersenyum getir, membaca tulisan dibawahnya, "beloved Sheryl."
****
"Mampus, hp-ku kok ga ada. Kalo ilang, bakal di hajar bokap nih !" Seruku di kantin.
"Serius ? Kamu pelupa, coba diinget dulu. Jangan jangan dirumah." Sahut dimas.
Coba kamu telepon, siapa tau ada yang angkat yo. Nih pake hp-ku dulu." Edgar memberi saran.
Aku mengambil hp Edgar, kuketik nomor ponselku dan kupencet dial. Terdengar nada sambung.
"Eh masih aktif."
"Yaudah tunggu."
Cukup lama, nada sambung terus berbunyi dan tidak ada jawaban.
"Halo, Edgar ?" Suara seorang gadis dengan nada mengira.
"Bukan, aku yang punya hp itu."
"Oh iya, ini aku nemuin hp di salah satu meja perpus tadi. Aku tidak tahu harus bagaimana, kalau aku kasih guru aku kasian nanti kalo hp-nya disita. Makannya aku menunggu telepon. Aku masih di perpus, bisa ambil hp mu sekarang ?"
"Oh, iya. Terima kasih, aku kesana sekarang."
Aku segera berlari menuju perpustakaan untuk mengambil ponselku. Jaraknya yang cukup jauh dari kantin membuatku terengah sampai di perpustakaan itu. Perpustakaan sekolahku cukup besar dan lengkap, dengan meja meja yang tertata rapi ditengah dan satu meja ditiap raknya. Hari itu perpustakaan cukup ramai diisi siswa yang sedang mengerjakan tugas atau hanya sekedar membaca. Aku berhenti, ada banyak siswi disana. Lalu yang mana yang membawa ponselku ? Seharusnya aku mengajak Edgar tadi, sebab yang membawa ponselku mengenali Edgar.
Aku menengok kekanan dan kiri, mengira siswi mana yang membawa ponselku. Tapi tidak satupun yang aku yakini membawa ponselku.
"Kamu temennya Edgar ?"
"Iya." Aku menoleh ke kanan, mencari asal suara itu. Ada seorang gadis berdiri disana, dia menatapku. Aku tenggelam dalam matanya, tanpa aksara. Hening.
****
Pada mata yang berkilau, aku pernah jatuh dan tenggelam. Seolah detik berhenti ketika debar menjalar.
Seolah suara membisu dimana hingar hidup hanya didalam dada.
****
"Kamu nyari hp-mu ?"
"I-iya. Jadi kamu...."
"Kesini."
Aku mengikutinya masuk diantara rak rak buku, mengamatinya dari belakang. Rambutnya diikat, dia nampak anggun dengan kesederhanaannya.
"Kamu murid baru ? Seharusnya kamu tahu kalo disini tidak boleh membawa ponsel."
"Ya, aku tau. Lalu kenapa kamu juga bawa ?" Aku melihat gantungan ponsel di kantung roknya. Dia terkikik dan akupun mengikutinya.
"Ini hp-mu, jangan asal taruh lagi."
"Iya, maaf ngerepotin."
"Sudahlah."
Kemudian aku mengambil ponselku dari tangannya, kembali mengucap terima kasih lalu kemudian berjalan pergi. Menjauhinya, membawa ponselku dan juga debar. Debar yang tak diketahui dari mana asalnya.
****
Jatuh cinta mungkin benar benar seperti jatuh. Perasaan yang pertama kita rasakan adalah melayang layang, dan seperti itu adanya.
****
Malam sudah begitu larut saat aku tenggelam dalam kenangan yang muncul lewat lembar lembar foto yang tertata rapi di sebuah album. Kusesapi setiap kenangan yang hadir, terkadang aku tersenyum, terkikik dan kadang aku menelan getir, membaca caption dibawah setiap foto yang tertata. Kuambil tehku yang sudah tidak hangat lagi, aku minum dan merasakan kasap dilidahku yang sedari tadi mendiamkannya. Tapi sudahlah, teh hanya benda mati yang pernah hidup. Begitu juga kenangan kenangan yang ada didalam sini. Aku menarik nafas cukup panjang, sheryl mungkin sudah berubah. Mungkin dia sekarang berambut panjang dan nampak lebih feminin. Lelaki yang memilikinya mungkin beruntung, sangat beruntung. Sebab aku tak pernah memilikinya.
****
Mendung menutupi langit di sekolahanku. Mendung yang tebal, bahkan cahaya matahari tak mampu menembusnya, membuat setiap kelas menghidupkan lampu untuk penerangan. Beberapa murid sudah resah, sebab ini jam pelajaran terakhir. Jika nanti saatnya pulang tetiba hujan turun, kami akan kehujanan atau setidaknya kami akan pulang lebih lama karena berteduh. Hujan tidak akan memberi celah kepada kami untuk pulang.
Aku hanya melamun, memandangi keluar jendela. Pada lorong lorong sekolah aku berharap sheryl lewat dan menoleh kearahku. Setidaknya itu membuat suasana hatiku cerah, meskipun diluar mendung yang sudah seperti malam.
Pelajaran terakhir adalah pelajaran yang membosankan, apalagi diluar awan seperti sudah tidak mampu menahan air yang terkumpul diatas sana. Murid tidak memperhatikan apa yang diucapkan pengajar. Hanya ada mendung dan resah, aku mendengar desahan teman temanku. Hingga pada akhirnya hujan itu turun, hujan yang lebat dan rapat. Tak lama dingin menyusup kelas, beberapa murid minta ijin untuk mengenakan jaket. Sementara aku, aku masih dalam lamunanku yang berharap sheryl lewat di lorong lorong kelas.
Bel terakhir berbunyi, dan pengajar menutup pelajaran dihari itu. Salah seorang murid ditunjuk untuk memimpin doa dan kemudian pengajar keluar kelas.
"Aku berteduh dulu disini, ngga bawa mantol. Aku takut bukuku basah. Kamu duluan aja gar." Aku menolak ajakan Edgar untuk pulang.
"Yaudah, aku duluan ya ?"
"Ok."
Aku tetap duduk dibangku kelas, menunggu hujan reda dengan beberapa teman sekelasku yang bernasib sama. Sudahlah, sepertinya memang aku harus berlama lama disini. Menunggu hujan reda, hujan yang rapat dan lebat.
****
Seperti halnya menunggu hujan reda tak selalu mengharap pelangi. Namun terkadang kita hanya menunggunya reda dan pergi dari tempat yang sudah terlalu lama disinggahi. Waktu yang tepat untuk pergi adalah saat hujan itu reda.
****
Kini hujan hanya meninggalkan genangan air, dia sudah tidak lagi turun dari langit. Airnya sudah mengalir di parit parit dan pinggiran jalan. Syukurlah sepertinya aku sudah bisa pulang.
Aku berjalan menuju parkiran, suasana setelah hujan adalah salah satu hal yang aku gemari. Ada hening yang hidup, dingin yang membuatku ingin berlama lama diluar rumah. Aku suka suasana yang seperti suasana setelah hujan.
Sekolah sudah lumayan sepi, hanya ada beberapa murid, guru dan tukang kebun yang sibuk menyapu daun daun yang jatuh terkena angin dan hujan.
Ketika aku sampai digerbang sekolah, aku melihat gadis dengan rambut sepundak, yang menggendong tas punggung dengan tiga garis melintang.
"Sheryl."
Ya, kami sudah kenal. Setelah kejadian ponsel itu kami berkenalan dan sesekali bercanda saat kami bertemu dikantin atau berpapasan di lorong kelas.
"Eh rio, kamu ngagetin aku aja !"
"Kamu ngga pulang ?"
"Ini lagi nunggu mama jemput, tapi smsku ngga dibalas dari tadi, aku telepon tidak diangkat."
"Aku antar kamu pulang aja, ini sudah jam empat. Angkot juga sudah susah."
"Enggak ah yo, ngerepotin."
"Udah, ayo. Ngga papa. Aku juga pengen tau dimana rumahmu. Hehehe."
Aku pindahkan tas punggungku didepan supaya memberi ruang untuk sheryl membonceng dibelakang kemudian aku mempersilahkannya. Kemudian dia menghampiriku dan duduk.
Diperjalanan aku baru menanyakan rumahnya dan basa basi agar tidak ada canggung saat kita berboncengan. Ditengah perjalanan aku mendengar dia mengangkat telepon dari ibunya, aku diam dan sesekali mencuri pandang melalui kaca sepion.
"Mama ternyata tadi ketiduran nunggu hujan reda, jadi lupa jemput. Aku udah bilang mama kalo aku dianter kamu pulang."
Dia menerangkannya kepadaku, aku hanya mengangguk. Sebenarnya aku tidak terlalu mendengar apa yang dia ucapkan. Aku hanya senang bisa berdekatan dengannya.
"Yang pagar cat hijau itu rumahku." Dia menjelaskan padaku sembari tangannya menunjuk rumahnya yang ternyata tidak jauh dari sekolah.
"Makasih ya rio udah anter. Mampir dulu yuk."
"Enggak, ud...."
"Aku ga nawarin kamu, ayo masuk. Mama mau bilang makasih katanya tadi."
Dia turun, tangannya menyambar kunci motorku dan mematikannya. Aku terpaksa turun dan kikuk ini pertama kalinya aku main kerumah teman wanitaku sendirian. Aku berjalan dan sepertinya aku kelihatan salah tingkah. Entahlah.
"Assalamualaikum, mama aku pulang ma."
"Waalaikum salam, eh nak satrio ya ? makasih sudah nganterin sheryl pulang. Sini masuk, tante bikinin minum ya ?"
"Hehehe, iya tante. Terima kasih." Jawabku, aku sedikit malu.
"Bentar ya, aku ganti baju dulu" sheryl meninggalkanku diruang tamu sendirian.
Tidak lama ibunya datang membawa dua gelas cangkir putih diatas nampannya kemudian menaruh secangkir teh didepanku dan cangkir lain di sisi lain. Ibunya menanyakan rumahku, kelasku dan sedikit menceritakan tentang sheryl. Sekarang aku tahu sheryl adalah anak kedua dari dua bersaudara, kakaknya kuliah diluar kota mengambil jurusan kedokteran dan sheryl setelah lulus sekolah juga akan dikuliahkan ditempat yang sama seperti kakaknya.
"Pada ngomongin aku ya ?" Sheryl menyusul kami setelah mengganti pakaian sekolah. Dia menggunakan kaos putih dan celana pendek biru muda berbahan jeans. Sementara ibunya terkikik mendengar ucapan anaknya dan pamit kedapur.
Aku berdua dengan sheryl di ruang tamu, bercanda dan menikmati teh kami. Aku juga bercerita bahwa aku suka suasana setelah hujan.
Jam sudah menunjukkan pukul lima lebih, aku pamit ke ibunya karena sudah sore dan aku takut ibuku mengkhawatirkanku.
Aku pulang dengan senyum yang mengembang, ditemani suasana setelah hujan yang nyaman. Aku gembira, hari itu sudah terlambat bagi pelangi untuk tergaris dilangit, namun sepertinya pelangi sudah terbentang di hati dan pikiranku. Bahagiaku tak berujung.
****
Sebab bahagia itu sederhana, berada didekatmu dan menikmati garis bibirmu yang sedang tersenyum tipis.
****
Sejak hari itu aku dan sheryl semakin dekat, kami tidak lagi canggung untuk bersama di kantin atau menghabiskan waktu setelah pulang sekolah berdua. Bahkan aku mulai sering menjemput Sheryl dirumahnya untuk pergi kesekolah kemudian mengantarnya pulang saat sekolah usai. Karena aku bahagia saat berada didekat dia, aku berusaha untuk selalu didekatnya.
"Yo, kamu sama Sheryl pacaran ya ?"
"Enggak kok, kami cuma temen gar."
"Kok sering berduaan ?"
"Aku sering berduaan sama kamu juga kita ngga jadian kan gar ? Kamu mau tau aja deh."
"Kalo ngga jadian, berarti kamu naksir Sheryl ? Cie Bang Sat jatuh cinta~" Nada Edgar mengejek.
"Apaan sih ? !" Sahutku cepat.
Aku tidak mengerti apa perasaanku terhadap Sheryl. Aku hanya merasa nyaman bila didekatnya dan entahlah, seperti merasa aneh ketika dia tidak ada, bayangannya dimana mana. Jika ini cinta, ini adalah cinta pertama. Jika ini cinta, lalu bagaimana selanjutnya ? Apa aku hanya boleh diam, sebab aku tak tahu cara mengungkapkannya. Jika saja mengucapkannya mudah, seperti langit menghujani semesta dan aku menghujaninya dengan kata kata. Mungkin aku sudah tidak canggung lagi untuk menelponnya saat aku memikirkannya dan mengungkapkan perasaanku yang tidak suka saat dia berbicara dengan lelaki lain. Sekarang aku hanya mampu mengutuki diriku sendiri, aku ingin memilikinya tapi aku malu mengungkapkannya.
****
Suara guntur membuyarkanku dari lamunan, dasar guntur sialan. Aku menengok ke arah jam dinding, sialnya ini sudah pukul dua dan aku masih terjaga diantara remang lampu ruang, hujan dan tangan tangan rindu yang sudah mulai mencekikku.
Aku berpacaran dengan beberapa gadis lain saat aku lulus SMU, namun setiap kali hubunganku berakhir aku teringat dengannya kembali. Sheryl, seorang gadis yang pernah menenggelamkanku dalam ketidak tahuan yang mungkin akan disebut sebagai cinta.
Aku beranjak dari kursiku, menaruh cangkir teh kedalam wastafel didapur kemudian berjalan ke kamar, membawa album foto yang berwarna coklat tua itu.
Aku duduk di kasur kamarku, menyandarkan tubuhku di tembok yang dingin. Korden di kamarku masih terbuka dan pandanganku menembus keluar, hanya ada gelap yang pekat dan bintik hujan yang menempel di kaca jendela itu.
****
Rindu sedang mengetuk ngetuk jendela kamarku, mereka berbentuk bintik hujan. Hujan yang deras dan rapat.
****
Hari itu hari dimana kami satu sekolah berlibur ke Bali, semua murid satu angkatanku ikut disana. Indahnya aku menikmati liburanku kali ini aku bersama seseorang yang selalu membuat aku berdebar ketika menatap matanya.
Sheryl nampaknya juga senang kita bisa berlibur bersama, menikmati indahnya pulau dewata bersama. Berlama lama berdua sepanjang hari, menikmati matahari tenggelam di pantai pantai yang indah, rasanya aku ingin mengurung saat ini, menghentikan waktunya dan bisa lebih lama dengannya.
Namun, perasaanku semakin berontak. Aku ingin mengungkapkan perasaan padanya saat ini, aku pikir waktunya tepat. Aku sudah tak bisa berlama lama lagi menahan rasa ini. Bagaimana aku bisa menahannya, saat aku memandang senyumnya yang diterangi cahaya senja dan rambut yang tertiup angin itu hatiku seakan melompat dan berteriak meminta kebebasan rasanya. Sumpah mati aku juga ingin menciuminya saat ini.
"Sher ?"
"Ya rio ? Kenapa ? Serius amat sih. Didepan ada matahari yang cantik tuh."
"Iya, eeeehh. Sher, aku..."
"Kamu aneh, kenapa sih ?"
"Aku..."
"Didepan ada senja yang cantik, perpisahan itu indah jika ada kepastian kapan bertemu lagi. Seperti senja sekarang, dia sedang memintal janji kepada bumi untuk menemuinya lagi dalam beberapa jam."
"Ha .... kamu ngomong apa sih ?"
"Iya, aku takut perpisahan yang penuh haru dan memintal rindu tanpa kepastian."
"Hahaha kamu ngomong apa sih sher ?"
Dia hanya menatapku kemudian tersenyum manis, senyum tipis yang disinari senja. Aku terduduk di pasir, menelan apa yang ingin aku ucapkan. Mungkin memang aku tak bisa memilikinya. Aku pikir jika aku meneruskan perkataanku dia akan menolakku. Bukan saja hatiku yang akan hancur, tetapi mungkin juga kebersamaan kita. Aku takut kehilangan, aku telan segala rasaku yang tadinya manis kini menjadi getir.
Sesaat aku tertunduk lesu, dan ombak sedang menyorakiku. Aku pikir aku semakin merasa payah dengan diriku. Suasana yang tadinya menyenangkan mendadak hening. Aku kalut dalam tindakanku.
"Yo, kita ngumpul sama temen yuk. Nanti kita ditinggal disini loh, sebentar lagi kita balik ke hotel. Yuk ah."
Dia mengulurkan tangannya, aku memandanginya kemudian menyambut uluran tangannya. Kami bergandengan tangan dan menghampiri teman teman kami.
"Cie Satrio, Sheryl. Udah jadian nih ?" Celetuk salah satu teman kami.
"Apa sih ? ! Mau tau aja deh ! Rio, kita diledekin."
Aku memandanginya, dia cemberut, sangat lucu. Dia sering melakukan itu, dan aku terkikik ketika menatapnya.
"Heh, jangan ganggu ya !" Bercandaku dengan teman teman. Kami sekelompok tertawa riang. Dan kami melanjutkan perjalanan kami pulang menuju hotel.
****
"Ada yang jadian nih !" Teriak Edgar di kamar hotel. Memang aku sekamar dengan Edgar dan dua kawan kami lainnya. Teman teman sekamar mengerti maksud Edgar dan mulai memberondongku dengan ledekan mereka.
Aku sudah tidak memikirkan kejadian tadi, aku menanggapinya santai. Sepertinya hal itu juga terjadi dengan Sheryl sekarang, aku tidak tahu dia menjawab apa atas ledekan teman temannya.
Ponselku berdering, tercantum tulisan "Bapak" disana, akhirnya aku bisa lari dari ledekan teman teman tentang aku dan Sheryl. Aku ke beranda kamar hotel dan menutup pintunya agar suara gaduh didalam tidak masuk ke ponselku, aku angkat telepon dari ayahku. Ayahku menanyakan kabar dan bagaimana liburanku, beliau juga mewanti wanti untuk menghemat uang jajanku.
Beranda kamar hotelku menghadap kolam renang hotel itu, yang diterangi lampu sehingga memantulkan bayang gelombang air itu ditembok tembok hotel. Di sekeliling kolam renang itu ada kursi kursi panjang berwarna coklat pastel dan beberapa pohon kelapa. Aku lihat sheryl sedang duduk sendirian di salah satu kursi itu, memandangi kolam dan sesekali memainkan ponselnya. Segera aku memohon kepada ayahku untuk mematikan teleponnya dengan alasan aku akan makan malam bersama.
Segera aku turun dari kamar hotelku, menghampiri Sheryl yang sendiri di kolam renang.
"Kamu ngapain sendirian disini ?"
"Capek diledekin temen temen dikamar, mereka ngira kita pacaran."
"Kamu jawab apa ?"
"Aku jawab sekenanya, aku juga ikut tertawa bersama mereka tapi lama lama capek, makannya aku kesini."
"Aku juga, tapi aku selamat setelah ayahku telepon dan aku melihatmu sendiri disini."
Kami berdua disana, menikmati malam itu dan bercanda. Sejak waktu itu aku tidak pernah punya niatan untuk mengungkapkan perasaan kepadanya, aku juga tidak ingin mengetahui perasaannya sejak saat itu. Bagiku, bisa selalu berada didekatnya itu lebih dari cukup bagiku.
****
Kepalaku terasa ringan, langit langit kamarku seolah seperti layar proyektor dan kenangan itu diputar diatas sana. Ada nyeri pada sebuah perpisahan yang tidak diharapkan, dan rindu akan terus meranggas seperti rumput dikemarau panjang. Detik seolah tak memberiku celah untuk bertemu lagi dengannya.
****
Hari berganti begitu cepat setelah kami semakin dekat. Setahun terasa begitu cepat, detik bagai penggesa yang tak ingin menunggu. Waktu seolah memburu kami, ia membawa pedang lalu kemudian menebas genggam kami.
Hari ini adalah hari perpisahan bagi kami. Kami lulus dari SMU tersebut dan punya tujuan masing masing setelah ini. Aku kembali menuju ke kota asalku untuk meneruskan kuliah ekonomi, sementara Sheryl mengikuti jejak kakaknya untuk sekolah kedokteran.
Sekolah kami mengadakan acara malam perpisahan yang diadakan di aula sekolah yang cukup luas. Hari ini aula itu tampak berbeda, ada banyak lampu lampu yang tergantung mengelilingi ruang. Diujung ruang terdapat panggung kecil yang diisi oleh alat band dimana adik angkatan kami akan unjuk bakat menghibur kami. Disisi lain ada meja meja yang diisi berbagai makanan dan gelas gelas minuman yang tertata rapi.
Hari ini, aku harus mengungkapkan yang seharusnya aku ungkapkan beberapa waktu yang lalu. Aku tidak ingin ada yang mengganjal ketika kita benar benar berpisah. Tidak boleh ada haru malam ini, aku akan mengungkapkan segala perasaanku kepada Sheryl bagaimanapun caranya. Aku tahu ini akan susah, sebab selalu ada canggung ketika mengucapkan kalimat itu sekalipun sudah berlatih didepan cermin. "Sheryl, aku mencintaimu."
Aku mengenakan kemeja merah dengan rompi berwarna abu abu gelap yang dilengkapi dasi hitam. Sheryl tampak sangat anggun. Dia mengenakan mini dress biru langit, dengan rambut yang diikal. Tidak ada orang yang menyangka bahwa itu Sheryl yang biasanya hanya menguncir kuda rambutnya. Semua mata mengarah kepadanya.
Gugupku bertambah, seolah aku ingin bungkam saja dan menyimpan perasaanku. Debar yang dulu hilang setelah dekat dengannya kini hadir lagi. Aku tidak tahu kenapa aku berkeringat, padahal ruangan ini sudah dipasangi AC.
Sheryl berjalan mendekat. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku ambil gelas minuman dimeja sebelahku berdiri, kemudian aku tersenyum menatapnya. Dia melempar senyum kepadaku, menghampiriku. Sheryl berubah sesosok bidadari yang berjalan kearahku, tanpa sayap. Tak ada bulu beterbangan disana, hanya ada debar. Debar yang semakin dekat semakin cepat.
"Yo, kenapa ?"
"Ah enggak Sher, kamu cantik hari ini. Minum ?" Aku menyodorkan gelas yang aku pegang.
"Terima kasih."
Aku melihat disekitarku, semua orang memandangi kami. Murid, guru, adek kelas yang mengisi acara malam itu. Semua. Seolah kami adalah matahari dan mereka adalah planet planet dan bintang yang mengitari kami sebagai pusat tata surya. Aku gugup dengan tatapan mereka.
"Ga kerasa ya Yo, 2 tahun lebih ita bareng. Eh udah lulus aja." Sheryl mematahkan perhatianku pada tatapan mata orang orang disekitar kita.
"Ya, aku pikir waktu tak mau menunggu sedikit lagi. Sedikit saja." Aku sudah tak ingin menyembunyikan perasaanku lagi. Sebab kalau bukan sekarang kapan lagi ? Setelah ini kami benar benar berpisah dan entah kapan lagi akan bertemu. Rasanya seperti jodoh yang dipisahkan oleh maut. Yang berharap akan bertemu lagi di alam baka, namun Tuhan akan menghapuskan pikiran duniawimu sebelum memasukinya. Sedih, haru, namun harus menahannya. Benar benar harus ditahan, kecuali apa yang ingin aku ucapkan.
"Memangnya kenapa jika waktu mau menunggu ? Ada yang masih pengen kamu lakuin disini ?"
"Ya." Aku menatap matanya, menguatkan diriku untuk mengucapkan apa yang seharusnya aku ucapkan sejak dulu.
"Apa ?" Sheryl mengucap dengan nada yang penuh tanya. Seolah bingung akan diriku yang mantap berucap dan menatap matanya dalam dalam.
Sher, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” Aku menggandeng tangannya, menuju tempat yang jauh dari orang orang.
"Sher,sebenarnya aku sudah lama ingin mengatakan ini. Aku berdebar saat aku pertama kali menatap dirimu. Debar yang selalu tak pernah mengerti maksudnya. Aku selalu merasa lengkap ketika berada didekatmu, dan merasa kosong saat kamu tidak ada didekatmu. Aku senang saat tahu dimana rumahmu dan selalu berusaha bangun lebih pagi agar bisa menjemputmu. Aku suka kamu saat berada dibelakangku saat membonceng, yang terkadang jahil menarik narik jumper-ku seolah aku kuda yang menarik kereta dan kamu kusirnya. Mungkin aku jauh cinta, mungkin ini cinta. Semoga ini cinta. Sher, aku jatuh cinta kepadamu.”
Sheryl diam, menatap mataku. Seolah dia sedang menilaiku apakah aku bersungguh sungguh dengan setiap perkataan yang aku ucapkan. Aku sedikit gugup, hingga terkadang aku menundukkan kepalaku. Dia menatapku begitu dalam, mencari sesuatu didalam mataku.
"Sher, ini kali pertama kali aku merasakan hal seperti ini. Mungkin aku jatuh cinta ke kamu. Ini hari terakhir kali kita bertemu. Besok aku sudah kembali ke kotaku dan kamu juga pergi dari sini. Menyesal jika aku tak mengungkapkan apa yang aku rasakan."
Sheryl masih menatapku, namun tiba tiba ekspresi wajahnya berubah, mungkin dia sudah menemukan kesungguhanku. Namun itu bukan ekspresi yang aku inginkan, mukanya sedikit memerah dengan air yang tampak penuh pada matanya.
"Yo." Sheryl berucap dengan suara yang bergetar, seolah dia menahan sesuatu, sementara aku yang sudah berhasil mengungkapkan perasaan yang selama ini belum bisa bernafas lega. Sheryl melanjutkan ucapannya :
"Aku juga memiliki rasa yang sama, kepadamu." Air matanya tak tertahan. Mengalir dipipinya.
"Aku benci kita berpisah, tapi bagaimana lagi. Kita memiliki mimpi masing masing yang harus dicapai. Hidup kita masih panjang. Semoga kita bertemu suatu hari lagi nanti, dengan mimpi kita yang sudah ada di genggaman. Semoga."
Sheryl tertunduk, ada isak yang keluar dari mulutnya. Dia sesekali menghapus air matanya dengan tangannya. Mungkin rasa kami sama. Pahit. Getir. Menelan perpisahan kali ini tidak semudah biasanya, saling tersenyum dan mengucap selamat malam kemudian pagi bisa bertemu kembali. Kami setemaram lampu yang menerangi kami di taman kecil dibelakang sekolah kami.
"Sher, kita pasti akan bertemu kembali. Aku janji. Ini adalah hari bahagia, bukannya kita juga sedang merayakan hari kelulusan kita seperti teman teman kita di aula. Lagi pula kenapa kamu berdandan cantik hanya untuk menangis ?" Aku berusaha tersenyum, mengangkat wajahnya yang tertunduk dan menghapus air matanya. Kemudian dia tersenyum, seolah mengatakan tidak ada apa apa. Tak lama aku memberanikan diri untuk memeluknya. Kita berpelukan dibawah pendar temaram lampu taman. Temaram seperti rasa sedih yang kami tutupi.
"Aku bakal kangen banget sama kamu, jaga dirimu. Untukku dan mimpimu sendiri."
"Iya, aku juga yo. Sering sering hubungi aku ya."
"Pasti."
****
Malam itu aku kembali ke aula, Sheryl memeluk tanganku seolah dia tak ingin lepas malam itu. Akupun tak ingin lepas dari dia. Kami mengikat diri semalaman untuk tak berpisah walaupun sebentar. Setelah ini kami benar benar akan berpisah dan akan sulit untuk bertemu.
Hari sudah pagi, matahari sudah memperlihatkan lengannya dan siap untuk mengangkat dirinya. Aku bersandar di kamarku menerawang keluar kearah surya akan muncul. Menerawang ke arah masa silam, dimana masih ada cinta yang tumbuh malu malu dan menggelitik rinduku pada cinta pertama.
Setelah hari terakhir kami bertemu, aku masih sering menghubunginya. Menanyakan kabarnya, saling bercerita tentang keadaan sekarang, dan saling mengucapkan rindu. Sampai rutinitas memangkas keakraban kami. Sheryl juga sudah tidak ada kabar, nomor dan kontak lainnya sudah ganti. Aku hanya sesekali menelan rindu kepadanya. Aku tak tahu bagaimana dengan dia.
Seseorang tidak akan pernah tahu dengan siapa dia akan jatuh cinta dan karena apa. Seseorang tidak akan pernah mampu bagaimana mendeskripsikan cinta ketika dia jatuh cinta. Dia hanya tahu bahwa debar yang dipunyai telah memilih tuannya. Terkadang seseorang akan tahu apa itu cinta ketika dia kehilangan sebagian cintanya.

-Tamat-