Monday 23 November 2020

Hujan yang Hanya Sebentar

Terkadang hidup hanya seperti hujan yang hanya sebentar, yang membasahi tanah kering untuk basah sebentar. Seperti harapan mampu memberikan senyum yang kias. Melenggang begitu saja kemudian menghilang.
Pada hujan yang hanya sebentar, yang tak merubah bentuk langit mendung. Membuat orang bergegas untuk pergi dan pulang ketempat yang lebih nyaman. Redanya sejenak sebelum badai besar menghantam ke tanah, sebaiknya pergi sebelum tidak bisa kemana mana.
Hujan yang sebentar mungkin memberiku pesan untuk segera berpindah sebelum tidak bisa kemana mana lagi. Sebab terjebak di dalam hujan yang lebat tak melulu memberikanmu rasa nyaman. Tempat yang yang buruk hanya akan membuatmu tetap basah meski sedikit.

Hujan, tidak lagi tentang sepasang cangkir teh dan pembicaraan hangat kita lagi. Bukan lagi tentang peluk manja dengan sweater rajut kuningmu yang kedodoran. Bukan lagi tentang kecupan manis yang kita habiskan diatas ranjang.
Banyak masa yang telah terlampaui, dan kita bukan lagi manusia yang sama. Tidak, mungkin hanya kamu yang masih menjadi manusia. Sebab aku yang kini hanya makhluk yang tanpa rasa. Tidak ada lagi sedih yang ku rasa, namun bahagia juga perlahan sirna. Aku hanya sesuatu yang mati namun bernyawa. Sedih memang, tapi tidak apa apa.

Wednesday 7 February 2018

Bimbang

Aku tengah merayakan diriku sendiri.
Di antara hingar yang mulai meredup.
Di tempat yang tak sama lagi.
Di saat waktu tak selambat saat itu.

Aku mencoba mengayunkan duniaku.
Agar tak semonoton masa itu.
Mataku hanya melihat monokrom dunia.

Aku di persimpangan.
berdiri diantara ya dan tidak.
Langkahku menuntun tapi disini aku berhenti.

Aku menua diantara pilihan.
Pecundang yang tak berani memilih ini juga lelah berdiri.
Kemana dia akan pergi ?

Setiap pilihan memiliki resikonya masing masing.
Aku tak berani untuk memilih.

Tuesday 3 October 2017

Harapan di Ufuk Pagi

Dan petang meninggi, kala harapan mampir di ufuk pagi.
Aku adalah gelap yang dinanti.
Ketika temaram tak lagi menghiasi.

Lagu lagu sendu tersuar diantara retakan pilu.
Menanti tak pernah berujung temu.

Mungkin aku, manusia yang senantiasa memintal harap.
Menyuarakan rasa yang terserak, menerima nyata hatimu kedap.

Aku lelaki yang benci mengaku.
Aku lelaki yang tak mudah setuju.

Seolah takdir menyeret kita untuk menjauh.
Tapi aku juga tak percaya takdir.
Sebab aku tak mau kehilangan satu satunya rengkuh, saat hujan pertama jatuh.

Harapan masih di ufuk pagi.
Dan kamu satu khayal yang tak pernah kusesali.

Friday 14 October 2016

Memanggilku Malam

Kini kau memanggilku malam, sebab yang kusisakan padamu hanya kelam.
Kini pagi mengintip, embun embun berjatuhan ke tanah namun tetap saja aku adalah malam.
Bagimu siang itu tak ada untukku, sebab kau menyumpahiku agar tak akan pernah sinar menyinariku.
Kini didalam malam aku membuat pesta, gemerlap menyeruak gelap. Menggantungkan pagi dibalik tirai yang akan kubuka setelah usai.
Bagimu roda akan berputar cepat dan mendoakanku tergilas kemudian sekarat.
Kini aku berdiri, menatap kesegala arah. Bersombong diri, membuat segala yang kau sumpahi salah.

Sebab aku tak bersalah, waktu menggilas kita. Bukan aku menyerah, namun semua tak lagi sama.

Katamu, aku bukan aku yang kau kenal dulu. Kataku, kau membuatku menjadi yang kau mau.

Apa yang salah, kau menyumpahiku. Meneriaki segala serapah padaku.
Lalu...
Lalu setega itu kau tinggalkan aku ?

Sebab aku benci menjadi aku yang kau mau. Aku adalah diriku. Aku adalah milikku. Aku hanya ingin menjadi aku. Aku yang dulu, yang begitu jatuh hati padamu dan kini menjadi aku yang bukan diriku.

Mungkin aku menjadi aku yang kau mau, tetapi aku juga bukan lagi aku yang jatuh cinta padamu.

Maafkan aku.

Sunday 29 May 2016

Kata Orang Kau Suka Purnama

Purnama, begitu kata orang melihat bulan melingkar sempurna. Langit cerah dan udara lebih dingin dari biasanya. Syair syair tentang rindu yang ditulis pujangga.
Purnama, katanya buta kala sedang puasa. Menunggu kala, menyiapkan tenaga. Menelan purnama. Tak ada kidung kidung yang dinyanyikan ketika gelap gulita melahap semesta.
Kata orang, kau suka purnama yang bulat sempurna. Kau bercerita tentang segala rasa padanya. Memendam segala rasa hingga purnama tiba. Berdongeng hingga pagi menjemput; malam melingsut.
Aku ini buta kala, bukan kata orang; pengakuan. Aku benci purnama, aku lapar ketika dia sempurna. Aku ingin  melahapnya.
Sebab aku tak suka purnama. Dia tuli, tak bertelinga bahkan tak berindra. Kenapa kau masih bercerita kepadanya ?
Sebab aku tak suka purnama. Dia buruk rupa. Asal kau tahu saja, ketika kau bercerita dia memalingkan muka.

Sebab aku ini buta kala, mungkin Rahwana, mungkin Mahesashura. Aku ingin melahap purnama tempatmu bercerita. Sekalipun dia lahir kembali pada hari ke lima belas, aku akan memakannya. Aku iri pada purnama. Tempatmu bercerita.

Thursday 26 May 2016

Tenunan Diam (Perayaan Jalang)

Inilah malam tempat dimana aku menenun diam. Ada bayang yang merupa kamu di antara riuh didalam kepalaku. Aku ingin lagu sendu, tak mengapa aku rasa ngilu. Lidahku kelu, ingin mengucap rindu. Aku khawatir jalang jalang malam itu menertawaiku. Mereka menari, entah ingin menghiburku atau minta disetubuhi.
Aku ini bukan pendo'a yang baik, pula kuharap aku bukan pendosa. Tapi aku adalah pengharap yang tak kenal pamrih. Pengemis dari hati yang aku mungkin pernah hidup didalamnya dan aku sia-siakan. Seseorang yang dulu selalu mencandu kini kurindu. Aku dungu dan ceroboh, hubungan yang seharusnya sekarang berdiri kokoh kini telah rata dengan kecewa yang tumbuh diatasnya.
Suaraku melirih diantara dunia yang mencoba membuatku bahagia. Aku tak ingin mereka, aku tak ingin berbahagia bersama mereka. Jalang jalang dan seorang pria hidung belang yang sayangnya adalah karib ku.
Aku keluar dari ruang yang hingar mencari sadar yang saat ini hanya serupa pendar. Disaat merindumu aku candu pada sloki sloki kristal, memohon pada langit agar kamu memaafkanku yang ceroboh namun aku tahu itu sia sia. Kau sudah bahagia, bersama dia yang begitu cekatan memperhatikan pada setiap detil detil yang kau sukai.
Tiga hari yang lalu, larut malam seperti malam ini aku pulang dan menemukan selembar undangan pernikahan. Amplop maroon dengan hiasan pita emas dan tulisan latin namamu dan dia dengan warna yang sama. Kala itu, aku merasakan sekali lagi bahwa segalanya bisa terjadi. Perasaanku ditelanjangi, sama seperti malam ini.
Langkahku tak lagi tegap, minuman sialan pikirku. Tapi sudahlah, paling tidak ini membuatku sedikit merasakan sakitnya kehilangan.
"Maaf" bukan sesuatu yang tepat saat ini. Sebab sekalipun aku memohon kau tak akan kembali. Merelakanmu bahagia mungkin memang satu satunya alasan untuk aku dapat bertahan. Sekalipun ada detak yang tak dapat kutahan. Aku akan datang di sebuah acara pernikahan.
Mungkin aku akan mengucapkan selamat kemudian pergi. Mungkin aku akan bertemu ayah ibumu, menjabat tangannya sekali lagi dan pura pura tersenyum dan merasakan bahagia. Mungkin aku takkan sempat mengicipi kudapan yang kalian sajikan, sebab aku telah kenyang oleh ribuan penyesalan yang kutelan dalam satu suapan.

Mungkin, setelahnya aku menjadi yang baru. Yang tak lagi ceroboh dan menghargai yang kumiliki. Tetapi mungkin, aku akan menjadi aku bersama jalang jalang malam merayakan hilang dari perasaan yang dulu aku sia siakan.

Thursday 27 August 2015

Penari

                Kutemukan diriku yang lain, diriku yang didalam diriku sendiri yang sedang merayakan dirinya. Dia merayakan dirinya dengan cara menari dengan gemulai, mungkin seperti Rama. Dia yang bertelanjang dada menari merayakan dirinya. Dia hanya menari untuk dirinya sendiri tak ada mata yang menatap kearahnya kecuali aku yang menemukannya. Sebab dia ada dalam diriku, dia adalah aku yang kutemukan didalam diriku sendiri.
                Tak ada panggung atau pencahayaan yang cukup, aku hanya melihat dia sedang menari dengan gemulai didalam sebuah bayang. Temaram yang disekitarnya gelap. Aku tak mendengar bebunyian untuk mengiringi tarian perayaan dirinya, sesekali hanya kudengar suara langkah kaki yang ditimbulkan akibat tariannya.
                Dia sedang menari, kulihat sesekali dia menutup matanya menikmati setiap gerakan yang dia ciptakan. Seolah dirinya sedang merasakan kebebasan pada gerakannnya yang tak memiliki tempo pasti. Dia hanya bergerak dan menari dan merayakan tubuhnya.
                Semakin lama tariannya kian melambat sampai akhirnya berhenti dan tertunduk menghadap ke arahku. Dia mengangkat wajahnya dan membuka matanya. Aku sadar bahwa pandangannya tajam kearahku. Dia tersenyum, senyum yang penuh penghinaan. Dia menghinaku. Diriku yang lain itu berjalan menghampiriku. Kini aku dengannya hanya sejarak langkah.
                “Kau mungkin aku, kau mungkin diriku. Kau yang berada diluar sana, mengecap bagaimana kebebasan yang sebenarnya. Katanya langit itu biru maka lihatlah langitku. Katanya tempatmu berpijak dapat ditumbuhi pohon maka lihatlah yang kupijak. Katanya ada surya yang menyilaukan maka lihatlah pendarku ditengah. Namun ketahuilah, disini aku merasa bebas sementara kamu ? Sebab ditempatku tak ada dinding, maka hancurkanlah dindingmu kemudian rayakan dirimu.”
                Aku tak berkata, barangkali tak mampu berkata.
                “Sebab kebebasan itu ada jika kau ingin mencarinya.” Lanjutnya.
                Kemudian dia berjalan mundur, selangkah demi selangkah hingga tubuhnya ditelan bayang dan pendar pun meredup kemudian hilang.