Hari
ini begitu spesial, seharusnya seperti itu. Aku tengah mengenakan kemeja dan tuxedo rapi berwana hitam. Aku berjalan
menuju sebuah gedung yang indah dengan dekorasi yang kesemuanya beraksen merah
dan putih. Rangkaian bunga mawar tampak menghiasi sekitaran gedung ini, sangat
indah. Tidakkah kesemuanya warna dan hal favoritmu ?
Ini
adalah sebuah perayaan yang harus aku hadiri, sejujurnya aku ingin melihat
sebahagia apa dirimu saat ini. Aku membayangkan bagaimana senyummu tergambar
diwajahmu dengan dress putih dan bouquet
bunga mawar yang kau genggam di depan sebuah altar pernikahan.
Disekitar
gedung itu terdapat sebuah taman dan ada seorang petugas yang sedang menyirami
tanaman dengan sebuah selang dengan airnya yang menyebar, seperti hujan. Mengingatkanku
tentang satu hari dimana aku memulai untuk mencari senyummu, senyum yang seharusnya
memang kau miliki.
***
Kau
datang bersama hujan, mencari kekasihmu yang aku pikir hilang yang entah
ditelan waktu atau apapun itu. Kau menghampiriku yang sedang menikmati hujan dengan
basah kuyup dan berantakan. Ada sendu dimatamu. Aku takkan melupakan saat itu,
saat pertama kali kau datang dan membawa masalahmu.
Sebenarnya
aku tak tahu bagaimana kamu bisa dengan mudah menemukanku, sekalipun kau
kekasih sahabatku bukankah kau tak pernah memiliki nomor ponselku ? Saat itu
benar benar kau merusak suasana nyamanku, namun apa daya sorot matamu membuatku
iba. Kau memohon kepadaku agar menemukanmu dengan kekasihmu. Aku menghubungi
kekasihmu yang ternyata sedang nyaman dipelukan selimutnya. Curang pikirku
Tak
lama kekasihmu datang, aku sedikit mendengar bagaimana kau bertengkar dengan
kekasihmu waktu itu. Suaranya tak cukup jelas karena tersamar oleh hujan.
Kemudian kekasihmu itu memanggilku, meminta tolong kepadaku untuk menemaninya
mengantarkanmu. Aku membawa motormu dan kalian berboncengan, dari situ aku baru
sadar untuk menuju kemari kau sempat jatuh tapi kau tak menunjukkan lukamu.
Sesampainya dirumah yang entah siapa itu kau turun dan mengucapkan terima kasih
kepadaku tanpa menatapku, aku tahu hujan telah reda namun aku tahu dimatamu
hujan baru saja dimulai. Mungkin sejak itu aku bersumpah kepada diriku sendiri
bahwa aku yang akan menciptakan senyum dibibirmu, dan bersumpah membuat
sahabatku menyesal telah melukaimu. Aku percaya kau mempunyai senyum yang
sempurna untuk menertawainya dikemudian hari.
Beberapa
minggu berlalu setelah hari itu, hari dimana hanya kutemukan sendu dimatamu kau
menghubungiku. Kita bertemu dengan rambut panjangmu yang sudah kau pangkas
habis, aku sedikit kecewa atas perubahanmu. Dari matamu kau tak pernah bisa
menyembunyikan sesuatu, kau masih menyimpan setumpuk rindu kepada mantan
kekasihmu itu.
Kita
saling bercerita, tentang semua yang kita lakukan masing masing, dan terkadang
kau menanyakan kabar kekasihmu. Seharusnya kau malu pada dirimu sendiri, dia
mencampakkanmu. Sekalipun cinta itu buta, cinta juga tak juga sebodoh itu. Jika
kau pikir cinta setulus itu, cintanya tak setulus yang kau pikir. Begitulah
pikirku. Namun aku tak bisa berbuat banyak, siapalah aku saat itu, hanya
seorang yang dekat dengan mantan kekasihmu. Tak lebih kupikir.
Aku ingat,
betapa sering dulu aku mengajakmu menikmati sore dengan senja diujungnya dipinggir
kota. Tidakkah kau sadar pada saat itu aku sedang memberi tahu kepadamu tentang
sesuatu yang disebut merelakan. Ini tentang senja dan surya yang jatuh di barat
cakrawala. Lihatlah bagaimana bumi mampu merelakan hangatnya dan menyambut
dinginnya malam. Bagaimana bumi rela hidup dalam gelapnya, dan gigil
menyelimutinya setelah sang surya benar benar meninggalkannya. Ketahuilah bahwa
hidup tidak tentang itu saja, bumi tetap melangkahi malamnya yang semakin
meninggi karena dia tahu esok akan hadir hari yang baru, hangat yang
menghilangkan gigil dan menguapkan segala embun yang menempel di segala
tetumbuhan yang hidup dipermukaannya.
Sebab
aku hanya ingin menginginkanmu bahagia, sampai apapun yang kau inginkan jika
aku mampu menyanggupinya aku akan menyanggupiya. Seperti hari dimana hari
kelulusanmu dari perguruan tinggi. Karena aku sedang bekerja aku tak bisa untuk
hadir dan merayakan hari kelulusanmu.
Sebuah
sore di akhir pekan setelah hari kelulusanmu, kita bertemu. Aku meminta maaf
karena aku tak bisa hadir dan atas dasar itu aku memberikanmu sebuah permintaan
yang akan aku kabulkan. Aku tidak pernah menyangka kau segila ini, permohonan
yang sangat aneh. Kau hanya menginginkan seikat bunga mawar yang dijual di
dekat kampusmu yang berada diluar kota. Karena aku telah berjanji aku
mengabulkan keinginanmu.
Kita
berangkat ke kota tempat kampusmu berada untuk membeli seikat bunga. Kau
memutuskan naik bus untuk pergi kesana, katanya kau menginginkan pengalaman
berbeda. Aku tak tahu sebenarnya apa yang ada didalam kepalamu, aku hanya
memegang janjiku. Sesampainya di kota itu dan kau mendapatkan seikat bunga kulihat kau tersenyum. Memang seharusnya kau
seperti itu, senyum membuatmu terlihat lebih cantik. Tetaplah seperti itu agar
aku bisa tertawa mempecundagi sahabatku sendiri tanpa dia pernah sadar. Sebab
aku telah menang atas satu sumpahku.
***
Kini
aku sudah berdiri di depan sebuah gedung tempat resepsi pernikahan akan
diadakan, banyak tamu yang sudah hadir. Aku mengenal beberapa dari mereka yang
seumuran denganku. Langkahku perlahan menuju pintu masuk, aku sesekali memperhatikan
dekorasi yang memang sangat indah. Bunga mawar hampir ada disetiap sudutnya.
Sampailah aku didepan pintu gedung yang cukup besar dan gagah, berwarna
kecoklatan. Aku rasa ini dekorasi yang memang benar benar disukainya.
Kini dikejauhan aku sudah bisa melihat
sebuah altar, yang sangat besar dan mewah dengan gebyok jawa sebagai background
dari altar itu sendiri. Pernikahan yang berkonsep jawa dan modern, sederhana
namun terlihat cukup berkelas. Di altar itu ada seorang wanita yang berdiri,
menggunakan kebaya putih dengan payet yang berkelip seperti bintang dari kejauhan,
yang sedang berdiri dan tersenyum dengan menggenggam bouquet kecil bunga mawar merah.
Aku berjalan menghampirinya,
disetiap langkahku menujunya kenangan itu kembali hadir. Saat dimana bola
matanya menikmati senja dipinggir kota dan mataku menatap matanya. Saat diamana
aku merasa terlempar dan membentur bola matanya. Saat dimana aku menahan
mulutku agar tak membunyikan perasaanku bahwa aku mulai jatuh hati kepadanya
saat itu juga. Kemudian aku menyalakan rokokku dan menghisapnya seolah
perasaanku juga akan ikut terlepas bersama asap yang juga keluar dari mulutku,
namun tidak. Bagaimana udara mencekikku dengan menghadirkan dia didalam
kepalaku disetiap kali aku menarik napasku saat tak bersamanya. Bagaimana aku
mulai menyukai lagu bertempo pelan dan melamunkan dia ditiap malamku. Belum
lagi hari dimana aku ingin mencuri satu kecupan dikeningnya saat ia tertidur
didalam bus sambil memeluk bouquet
mawar hadiah kelulusannya. Aku ingat betapa payahnya aku yang hanya berhenti
kemudian mengusap keningnya saja dan kembali pada sandaranku kemudian memasang
headset ditelingaku.
Kini wanita itu sedang berdiri
didepan altar, dan aku menghampirinya.
Tidak, dia tidak sedang menungguku untuk menemani disampingnya di altar itu.
Seorang pria dengan kebahagiaan yang tercetak diwajahnya sudah berdiri
disampingnya. Dia adalah pria yang sekarang telah menjadi teman hidupnya. Dulu
mereka bertemu ditempat kerja kemudian berpacaran dan lalu melakukan pernikahan
beberapa hari yang lalu. Aku menghampiri mereka.
Cinta adalah sebuah pengorbanan,
dan rasa adalah egoisme. Terkadang kau harus berkorban untuk seseorang yang kau
cintai agar dia merasa bahagia tanpa kau pedulikan bagaimana keadaanmu
setelahnya. Terkadang kau harus merelakannya pergi jika bahagianya memang bukan
bersamamu. Terkadang kau harus bertahan, sekalipun lukamu sudah tak sanggup kau
tahan. Dan terkadang hanya demi kebahagiaannya kau rela membunuh perasaanmu
sendiri.
Kini kau telah menikah bersamanya,
kuucapkan selamat dan semoga aku bahagia.